LABYRINTH
©2018, issueisyou
🍁-🍁-🍁-🍁-🍁
Haechan membawa Yeri memasuki kantornya. Dikarenakan jam istirahatnya sudah selesai, ia tidak bisa membawa wanita itu ke kafe tempat mereka berdua biasa berbincang atau sekadar bertemu. Yeri sendiri tidak menolak. Firma hukum ini milik Haechan, jadi pemuda itu bebas melakukan apa saja di sana.
"Ingin bercerita?" tanya Haechan sembari menyodorkan segelas cokelat hangat pada Yeri. Mereka duduk bersebelahan di sofa panjang di ruangannya.
Yeri masih membisu. Saraf otaknya mendadak lumpuh pun arah matanya yang lurus nan hampa. Melihat keterdiaman sang karib, Haechan pun refleks menghela napas dalam.
'Yeri pasti masih sangat terkejut,' pikirnya.
"Apa Mark dapat mengenalimu? Secepat apa dia mengenalimu?" Yeri tersentak dari lamunannya. Entah karena pertanyaan yang diudarakan pemuda itu atau karena ia sempat mendengar karibnya menyebut nama Mark.
Yeri menunduk, tak bisa membalas tatapan Haechan. Kesepuluh jemarinya lantas mengepal kuat di atas pahanya, "Kami... sempat bertatapan beberapa kali," ujarnya lemas.
Pemuda itu menghela napas gusar, "Sudah kuduga, Mark Lee memang bukan pria bodoh yang bisa lupa wajah istrinya walaupun kalian telah berpisah hampir selama enam tahun," balas Haechan yang kini memalingkan tatapannya ke arah lain.
Sejamang, hening menyergap mereka kala itu. Baik Haechan dan Yeri sama-sama tenggelam dalam persepsi masing-masing. Hingga akhirnya isakan pilu Yeri menginterupsi keheningan tersebut, membuat Haechan menoleh dan berintuisi untuk menepuk pelan pundak wanita itu.
"Chan,"
"Ya, Ri?"
"Aku tidak sanggup lagi bertemu dengannya."
Seuntai klausa itu memukul Haechan begitu keras. Rasa iba sekaligus amarah pun kian menggumpal di benaknya. Ia murka atas kebejatan seorang Mark Lee yang serakah akan dua wanita sekaligus iba akan nasib karibnya kini. Namun bagaimana pun juga, Mark dan Yeri sama-sama sahabat dekatnya. Salahkah ia lebih perpihak atas rasa sakit Yeri tanpa menghiraukan alasan Mark? Haechan hanya tak bisa memahami jalan pikiran kedua karibnya itu.
"Jujur padaku, Ri. Jauh di dalam lubuk hatimu, apa kau merindukannya? Merindukan suami sekaligus ayah dari kedua anak kembarmu?"
Yeri terperangah. Pertanyaan Haechan begitu mengejutkannya. Untuk pertama kalinya, benaknya pun kini ikut bertanya-tanya. Apakah rasa itu masih ada? Apakah ia bisa menerima Mark kembali? Apakah suatu saat nanti mereka akan kembali bersama seperti dulu? Apakah kedua jagoan kecilnya -Aaron dan Asher- dapat menerima kehadiran ayah yang membuat mereka merasakan penderitaan karena berasal dari orang tua tunggal?
"Mau merindukannya atau tidak pun itu semua tidak akan berpengaruh padaku, Chan," tukas Yeri pada akhirnya. Haechan tahu jika Yeri sedang berbohong saat ini. Haechan tahu jika Yeri hanya melindungi harga dirinya yang telah susah payah ia bangun dalam kurun waktu enam tahun ini. Dan Haechan tahu seberapa besar rasa sakit yang harus Yeri tutupi saat ia harus menatap kedua anaknya, menatap sebagian jiwanya pun pula sebagian jiwa pria Korea-Kanada itu.
"Kenapa? Kenapa kau harus mendustai perasaanmu sendiri, Ri? Kenapa kau lebih memilih pergi? Sampai kapan kau akan terus bersembunyi seperti ini?" Haechan jelas sudah jengah dengan peringai kucing-kucingan karibnya itu. Sementara Yeri yang kini memiliki ego selangit lantas menguapkan amarah terpendamnya.
"Karena aku malu telah merebut milik Koeun dan Mavianne. Seharusnya aku tidak pernah menerima perjodohan itu. Seharusnya aku tidak jatuh cinta padanya. Seharusnya tak kubiarkan kedua anakku mewarisi darahnya, marganya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Labyrinth
RomanceMark mencintai Yeri dengan rasa sakitnya, sementara Yeri membenci Mark dengan torehan luka di hatinya. Dua arus yang saling bertubrukan ini ke mana akan bermuara jua? LABYRINTH ©2019, influenceaurora
