FF#8 teenlite romance

6 1 0
                                    

"Puuut, ia tersenyum padaku!" bisikku pada putri. "Aaarrggh!" lirihnya. Tanganku tanpa sengaja mencengkram lengannya. Aku tersenyum menyeringai. Kami cekikikan sambil mencabuti rumput di halaman sekolah.

Lelaki itu punya mata cokelat yang sangat indah! Wajahnya mirip Aamir Khan, dihiasi hidung tinggi menjulang dan bibir yang tipis, manis sekali. Aku hanya berani mengintip dari pagar sekolah. Sudah dua minggu ini ia tampak di toko kelontong Cak Soleh di samping sekolah kami. Setiap jumat, kami bergotong royong membersihkan sekolah. Aku lebih memilih mencabuti rumput di pagar samping. Selain pekerjaannya lebih gampang, aku juga bisa ngerumpi sambil memandang pemandangan indah di toko Cak Soleh.

"Udah bel tuh, masuk kelas yuuk!" ajak putri. Kulirik pria manis di seberang jalan, ia terlihat salah tingkah dan melempar senyum lagi. Dadaku berdegup kencang, rasanya ada bunga-bunga yang muncul di atas kepala. Pipiku terasa memerah, namun putri sudah
menggamit tanganku dan menyeretku ke kelas.

****

"Kak, ini berapa?" Putri mengambil Lays dari rak makanan ringan.
"Tujuh ribu, Neng." jawabnya sopan.
"Kakak orang baru yah?" Aku memberanikan diri bertanya.
"Saya anaknya Cak Soleh, biasanya kuliah di Jakarta." jelasnya.
"Oh, anak kota." celetuk putri yang langsung aku sikut. Ia terkejut dan menutup mulutnya dengan tangannya.
"Adik-adik ini sekolah di depan ya?" Tanyanya sambil sibuk menyusun barang dagangan.
"Iya kak." jawabku dan Putri serempak. Setelah membayar, kami langsung beranjak dari situ.

****
Awan mendung menggantung di langit seolah hujan akan segera turun. Kulirik jam di tangan. Entah kenapa Mama terlambat menjemput. Aku benar-benar menyesal tidak menumpang mobil putri dan kakaknya.

Aku mempercepat langkah kaki untuk menyebrangi jalan. Sebuah mobil jazz berhenti di depanku. Ia menurunkan kaca mobilnya. Tampak sang Aamir Khan KW mengenakan kacamata hitam dengan kaus abu-abu yang terlihat macho sekali.

"Hai, kamu yang kemarin itu kan, kok belum pulang?" sapanya.
"Iya kak, mungkin Mama ada kerjaan" jawabku sambil melemparkan pandangan ke kiri melirik jikalau ada ojek yang lewat.
"Ayuk saya antarkan," tawarnya yang tentu saja membuat darahku berdesir.
"Nggak usah, Kak." Kutolak halus tawaran itu, sambil mendekapkan buku yang kutenteng ke dada. Aku merasa salah tingkah!
"Udah nggak apa-apa, kebetulan aku juga mau keluar,"jelasnya sambil membukakan pintu untukku.

Aku agak ragu, namun akhirnya masuk juga ke dalam mobil biru metalik miliknya. Sepanjang perjalanan ada ketidaknyaman dengan kekakuan yang terasa, aku ingin mencakar tembok rasanya. Kami hanya diam, sehingga aku tak bisa menikmati dengan leluasa lagu Bailando, Enrique Iglesias yang mengalun merdu.

"Aku Fauzan, kita belum kenalan," katanya sambil menyodorkan tangannya dengan mata tetap menatap ke depan.
"Balqis kak," jawabku menjabat tangannya. Aku tidak dapat berhenti melirik wajah tampan itu.
" ini kita kemana, Qis?" tanyanya lagi. Aduh, rasanya aku ingin menyelam ke dalam air saking malunya.
"Eh, ke hayam wuruk, Kak" jawabku padanya sambil mencoba menyembunyikan wajahku yang mungkin memerah seperti tomat.
"Oh, okay!" Katanya kemudian.

"Temen kamu itu namanya siapa?" Sepertinya ia tidak menghentikan sesi wawancara ini.
"Putri, Kak. Rumah kami deketan, dan kami sudah sahabatan sejak kecil." ujarku mencoba menguasai diri.
Kulihat Fauzan tersenyum. Ada makna tersirat dari senyumnya. Aaah, pokoknya aku sangat menyukainya.

"Kakak sampai kapan di sini?" tanyaku mencoba lebih akrab.
"Sampai bulan depan, Qis. Aku sedang skripsi, jadi bisa menggantikan Papa menjaga toko saat ia sedang sakit." tukasnya.
"Ohh, Cak Soleh sedang sakit. Pantas tidak pernah nampak. Semoga Cak Soleh cepat sembuh ya Kak," kataku mencoba menunjukkan simpati.
Iya mengangguk perlahan sambil mengucapkan terimakasih.

"Belok kiri, Kak!" perintahku sambil memberi isyarat dengan tangan.
"Nah, ini rumah Putri." Kutunjukkan rumah putih di sudut gang. Tampak Kak Fauzan memperlambat mobilnya dan melihat lama ke arah rumah Putri.

Tiba-tiba aku menjadi curiga dengan gelagatnya. Ada kecewa menyeruak di dalam dada.

"Kak, yang depan itu ya." tunjukku pada rumah putih di depan. Kak Fauzan memberhentikan mobilnya. Ia turun dan membukakan pintu untukku.
"Mampir, Kak," ajakku basa-basi.
"Lain kali saja, kirimkan salamku untuk putri ya." ujarnya yang tentu sangat meyakinkan hati kalau gebetan mirip Aamir Khan ini sedang naksir sahabat baikku. Aku merunduk dan mengangguk. Kupandangi mobilnya berlalu. Ku pikir, ia akan mengerti dengan rasa ini. Namun, semua hanya halusi semata. Sampai detik ini, tak ada yang bisa kupahami. Hingga sesak ini menguasai ragaku

Kumpulan Flash fictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang