"Lean!" teriak Zein dari belakang. Lean berlari kencang menembus hujan. Sekujur tubuhnya basah kuyup. Suara gemericik tanah yang basah berkecipak dengan langkah kakinya. Ia sama sekali tidak menghiraukan teriakan Zein .
Kedua tangan itu berhasil menggapai pinggangnya, namun ia meronta untuk dilepaskan. Zein semakin mengencangkan pelukannya. "Jangan dekati aku lagi, Zein ...." ujarnya sambil menangis. Lean tidak mampu melepaskan pelukan Zein, Ia pun membenamkan wajahnya pada dada bidang pria itu. Zein masih memeluknya erat. Mereka tak peduli dengan tatapan orang-orang yang lalu lalang. Setelah ia memastikan Lean tenang, ia melepaskan pelukannya. Kedua tangan Zein memegang wajah Lean, namun gadis cantik itu menunduk. Rambut hitamnya yang basah menutupi wajahnya. Zein menyibakkan dengan lembut rambut panjang Lean. Ia menatap lekat mata cokelat gadis itu.
"Lean, maafkan aku jika belum bisa mengatakan yang sebenarnya pada Sania," ujar Zein hati-hati. Lean masih saja menangis. Zein menghapus bulir air mata di wajahnya.
"Jadi kau pikir aku ini apa?" tanya Lean lirih. Zein mengalungkan tangannya di leher dara manis itu. "Kau pacarku," jawab Zein dengan senyum menggoda. Garis-garis rahangnya tampak tegas, hati Lean lumer dibuatnya.
"Pacar gelap maksudmu?" Tanya Lean dengan mendelikkan matanya. Zein mencium pipi kekasihnya itu.
"Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, kau menggenggam erat tangannya, dan .... " Lean tidak meneruskan ucapannya. "Hatiku sakit, Aku tak mampu menahan rasa ini. Harus sampai kapan?" tegas Lean sambil menyapu air mata bercampur butiran hujan yang membasahi pipinya dengan kedua tangan. Zein mengamit lengan gadis itu dan mengajaknya berteduh di kios kecil yang sudah tutup di pelataran parkir perpustakaan itu.Zein membuka jaketnya dan memakaikannya pada bahu Lean dan memeluknya. Lean tanpa sadar menyandarkan kepalanya ke pundak Zein. "Maafkan aku, Sania." Ujar Lean dalam hati. Ia tidak ingin menyakiti Sania, sahabatnya. Ia tahu betul bahwa Sania adalah kekasih Zein. Sania pula yang mengenalkan Zein pada Lean. Namun pesona Zein membuat Lean ingin memilikinya. Begitu pula dengan Zein yang sangat mencintainya. Namun Zein tidak tega meninggalkan Sania.
Zein mengangkat dagu pada wajah mungil itu. Mata mereka saling bertaut. Tangan kekar Zein yang lain meremas lembut pundak Lean, menariknya mendekat ke tubuh Zein.
"Aku mencintaimu, Lean. Berikan aku waktu, sedikit lagi ...." Tukas Zein menenangkan Lean. Zein mendekatkan bibirnya ke bibir Lean yang dingin. Lean menutup matanya, merasakan kehangatan dalam lumatan mesra bibir Zein. "Peluk aku Zein, aku tak ingin terbangun. Mimpi ini sangat indah." Pinta Lean dalam hati sambil memeluk Tubuh Zein. Mereka tidak sadar, ada mata penuh luka yang sedang memperhatikan mereka.
