"Ver, jemput aku donk! Hari ini Papa ada meeting di luar kota," pinta Lea pada sahabat karibnya. Suaranya serak dan tampak tidak bergairah.
"Tumben, biasanya ada Evan yang antar-jemput," cibir Vera di seberang telepon.
"Iyah, aku udah putus ama Evan." ujar Lea sambil gulang-guling di atas tempat tidur.
"Apa, kok bisa? Padahal kalian harusnya dinobatkan sebagai pasangan paling romantis tahun ini." Vera terus saja menggempurnya dengan ejekan. Ingin rasanya ia mencocol mulut besar sahabatnya itu dengan sambal. Vera memang Mak lampir yang tidak pernah setuju dengan hubungannya dan Evan.
"Evan udah jadian ama orang lain." jelasku yang tentu saja membuat lukaku kembali menganga.
"Jahat banget sih, Evan." ujar Vera yang mulai memberi simpati. "Pantasan kemarin sore aku lihat dia nongkrong di Bundaran HI ama cewek ...., nggak pakai jilbab" lanjut Vera akhirnya.
"Viona, kan?" Lea bertanya untuk meyakinkan dirinya.
"Hmm ...., iya." jawab Vera dengan nada lemah. Sebenarnya ia sudah tahu, namun tidak ingin menyakiti hati Lea."Sudahlah Ver, aku sudah tidak mau tahu lagi tentang Evan." tukas Lea.
"Ya udah, kamu mandi. Nanti aku jemput sekitar jam tujuh ya." ujar Vera yang kemudian menutup telepon.
Lea menyeka airmata yang mengalir di pipinya hingga membasahi bantal. Ia bangkit dari pembaringannya dan mengecek jam yang menunjukkan pukul enam pagi. Ia mengenakan sandal tidurnya dan hendak menuju kamar mandi.
Ia berhenti di depan cermin kayu berukir jepara berwarna putih, menangis lagi. Diratapinya dirinya sendiri sambil memandang matanya yang membengkak. Betapa bodohnya ia harus cemburu kepada Viona, ketua cheerleaders yang centil itu. Ia pun menyesalkan pertengkarannya dengan Evan, pacarnya. Jika ia tidak memulai pertengkaran itu, Evan pasti masih tetap miliknya.
Lea kembali memutar ingatannya tentang kejadian dua minggu yang lalu, ketika ia terlambat menghadiri pertandingan bola basket Evan. Bagaimanapun ia harus menghadiri rapat OSIS. Ketika ia datang ke lapangan, ia melihat Viona duduk di samping pacarnya dengan tangan kanan berada pada paha Evan.
Tentu saja Lea menjadi berang. Ia menampar Viona dan menuduhnya telah berani merebut Evan. Sayangnya, Evan tidak membelanya sehingga membuat emosinya tidak terkontrol dan melontarkan kata putus.
"Evan benar-benar keterlaluan. Ia bahkan tidak meneleponku!" Lea melemparkan ponsel ke atas tempat tidur. Ia menggigit bibir tipisnya, pikiran-pikiran buruk mulai menggelayutinya.
"Pasti perempuan pecicilan itu yang sudah menggoda Evan!" Ia berbicara sendiri dengan dirinya di depan cermin.
"Tetapi Evan mau-maunya di goda!" Dengan kesal, ia mengacak-ngacak rambutnya sendiri."Lea, cepat mandi ...., sarapan sudah siap!" ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.
"Iya, Ma." jawabnya. Ia mengambil handuk dan bergegas menuju kamar mandi.Ia merendam badannya di dalam bathtub, tidak lupa ia memasang timun untuk melenyapkan mata pandanya.
"Pasti Evan selingkuh di belakangku." Suara-suara setan mulai bermain-main di telinganya. Ia tahu Evan seorang playboy, tetapi ia pikir Evan hanya mencintainya. Seluruh murid di sekolah tahu, ia adalah pacar sah Evan. Ia tidak peduli dengan predikat cowok brengsek itu. Begitu banyak keceriaan dan kebahagiaannya bersama Evan. Evan yang sangat romantis dan selalu suka memberinya kejutan."Arrgh, kenapa harus berpikir tentang Evan?" Ia mulai kesal dan ingin segera mengenyahkan Evan dari pikirannya. Mungkin pria itu pun tidak memikirkannya.
"Evan lagi ...., Evan lagi!" dengan kesal ia mencampak timun ke bak sampah di kamar mandi itu dan keluar kamar mandi.Segera ia mengganti pakaian dan segera turun untuk sarapan bersama Papa dan Mamanya.