1 - Bertemu

353 56 89
                                    

Seperti minggu-minggu sebelumnya, setiap hari sabtu gadis itu selalu menyempatkan diri untuk menjenguk kedua orang tuanya. Ia menghampiri sang ayah terlebih dahulu, tak lupa dengan membawa makanan yang Flow masak dengan tangannya sendiri. Ia paham, ayahnya pasti bosan memakan makanan lapas, maka dari itu, setiap seminggu sekali ia selalu menyediakan waktu untuk menjenguk sekaligus membawa makanan kesukaan sang ayah.

"Makasih ya, Nak," ucap Lios. Flow tersenyum memandangi wajah ayahnya yang semakin tirus dan dipenuhi rambut-rambut halus.

"Enak nggak nasi gorengnya?"

"Enak banget! Anak papa sekarang udah pinter masak." Senyum gadis itu merekah kala melihat pria di depannya makan dengan lahap. "Gimana kuliah kamu, Nak?" tanya sang ayah.

"Lancar kok, Pa. Di semester ini, Flow coba daftar beasiswa lagi, doa'in ya semoga lulus. Kalo Flow dapet beasiswa itu, Flow nggak perlu bayar uang kuliah di semester tiga sampe semester empat Pa, karena udah ditanggung," jawab Flow bercerita. "Tapi, kuotanya cuma dikit, Pa. cuma buat 20 orang aja," tambahnya lesu.

"Tenang aja, kalo itu rejekinya Flow, pasti nggak akan kemana-mana kok. Optimis aja ya, Sayang," ucap Lios menyemangati. 

Flow tersenyum sumringan. Energinya kembali terisi kala mendapat support dari sang ayah. Satu hal yang tidak diketahui Flow, jika saat ini hati ayahnya sangat teriris. Bagaimana tidak? Disaat kedua anaknya sedang berjuang untuk mendapat kehidupan yang lebih baik, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa karena harus menyelesaikan masa tahanan.

"Sehat-sehat ya, Pa. Flow pamit besuk mama dulu," pamit Flow, lalu mengecup tangan kanan sang ayah.

Lios menatap kepergian Flow dengan perasaan bersalah. Lios sadar, ia bukanlah seorang ayah yang baik. Karena keserakahannya, keluarga mereka hancur, sampai istri dan kedua anaknya harus menjadi korban. Andai dulu ia pandai bersyukur, keadaan sekarang mungkin tak akan pernah mereka alami.

Sayangnya, waktu tidak bisa diputar kembali. Kini Lios harus menanggung resiko dari kesalahan yang pernah ia lakukan.

"Gimana keadaan mama, Dok? Apa Flow udah bisa liat mama?"

"Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan, lebih baik jangan dulu Flow. Karena dua minggu lalu Bu Tania masih mengamuk ketika melihat kamu."

"Kapan ya, Dok, Flow bisa peluk mama lagi?"

Dokter Frans menatap Flow prihatin. Ia tahu betul apa yang dirasakan gadis itu. Semenjak kejadian dimana Tania hampir mencelakai Flow, ia belum memperbolehkan Flow untuk bertemu ibunya secara langsung, kecuali ada pendamping, seperti Felix contohnya. Itupun masih harus diawasi, karena amukan Tania tidak bisa di prediksi.

"Flow pamit dulu, titip mama ya Dok."

"Iya. Hati-hati ya Flow."

-

Gadis itu tiba di Hamilton Resto tepat pukul 15:00. Ia langsung bergegas mengganti bajunya dengan seragam khusus waiters. Berbeda dari hari biasa, sabtu dan minggu Flow bekerja mulai pukul tiga sore sampai pukul dua belas malam.

Flow memandangi ruangan tersebut yang terlihat tak seperti biasanya.

"Kok tumben sepi," gumamnya, lalu sedetik kemudian ia menepuk jidatnya pelan.

Hampir saja Flow lupa jika hari ini Hamilton resto sudah di boking untuk perayaan ulang tahun anak dari si pemilik tempat. Pantas saja tak ada pengunjung.

Ia pun bergegas melakukan apa yang sudah menjadi tugasnya. Mulai dari membantu mendekor, menata makanan, minuman, bahkan souvenir untuk para tamu. Sampai tak terasa, waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam, yang mana para tamu sudah mulai berdatangan.

Menurut informasi yang Flow dapat, putri dari pemilik restoran ini mengundang seluruh teman seangkatannya kuliah, tetapi yang membuat gadis itu sedikit kaget, ia melihat wajah-wajah tak asing di acara tersebut.

Ada Dave, teman seangkatannya sewaktu SMA dan sekarang menjadi kakak tingkatnya di kampus, lalu ada Clara, adik kelasnya dulu yang sekarang menjadi teman seangkatannya juga di kampus. Bahkan ada Freya, Bunga, dan juga Andini, kakak tingkat yang meng-ospeknya dulu. Apa jangan-jangan ia satu kampus dengan si pemilik acara?

Flow mengedikkan bahunya acuh. Toh, sekalipun mereka satu kampus, tak ada juga yang mau menyapanya. Ia cukup sadar diri bagaimana posisinya sekarang. Gadis itu pun melanjutkan pekerjaannya, mengumpulkan gelas kotor, lalu membawanya ke dapur dengan nampan. Flow berjalan pelan dengan penuh kehati-hatian, takut jika gelas-gelas itu jatuh dan ia harus menggantinya. Namun, itu lebih baik daripada harus kehilangan pekerjaan.

"Permisi," ucapnya sopan pada beberapa orang yang tak sengaja menghalangi jalannya. Flow tersenyum ramah sembari menggumamkan kata terimakasih ketika mereka menyingkir dan mempersilahkan gadis itu untuk lewat. Ia harus sampai di dapur dengan gelas-gelas kotor yang masih utuh, tetapi seperti kata orang, 'Hari sial tidak ada di kalender'.

Seseorang tak sengaja menabraknya dan menyebabkan gelas-gelas tersebut jatuh. Flow memunguti pecahan kaca itu dengan perasaan panik.

"Maaf-maaf, aku nggak sengaja," ucap perempuan yang menabraknya tadi sembari membantu Flow memunguti pecahan gelas tersebut dengan perasaan bersalah.

Suasana menjadi semakin mencekam, kala semua mata tertuju kepada mereka berdua. Kedua gadis itu sama-sama merasa tidak nyaman dan buru-buru menuntaskan pekerjaan mereka.

"Terimakasih," ucap Flow menunduk sopan, lalu bergegas menuju dapur. Perempuan itu tak tinggal diam, ia mengikuti Flow. Ia melihat seorang perempuan setengah baya sedang memaki-maki gadis itu. Flow yang bersalah hanya diam dan menunduk.

Usai puas mengeluarkan amarahnya, wanita itu pergi, menyisakan Flow dan beberapa waitress di sana. Ia masih memperhatikan Flow dari jarak jauh karena tidak mungkin ia masuk ke dapur, tempat tersebut hanya diperuntukkan karyawan yang bekerja di sana.

Flow mengusap air matanya. Tentu saja ia menangis. Gadis itu paling tidak bisa di marahi apalagi dibentak. Ia pasti akan langsung menangis. Namun, walau begitu ia tak melawan apalagi memendam. Berbeda jika kejadiannya beberapa tahun lalu. Sudah pasti Flow tak tinggal diam dan akan melawan mereka yang berani membentaknya.

Flow menghela napas pelan. Ia memang tak pernah menyesali kehidupan yang harus dijalaninya sekarang, tetapi ia merindukan keharmonisan keluarganya dulu. Ibu yang sangat menyayanginya, ayah yang selalu memanjakannya, dan abang yang tak pernah memarahinya. Air mata Flow keluar semakin deras kala mengingat itu, apalagi ditambah dengan kejiwaan sang ibu yang terganggu dan enggan melihat dirinya.

"Udah, nggak usah dipikirin omongan bu Elsa. Entar juga baik lagi kok, kayak biasa," ujar Milan, salah satu rekan kerjanya. Flow hanya mengangguk dan menghapus air matanya. Ia harus mencuci gelas-gelas kotor yang semakin menumpuk. Karena insiden tadi, Bu Elsa tak mengijinkannya lagi ke luar untuk mengantar ataupun mengumpulkan gelas kotor, ia hanya diperbolehkan untuk mencuci dan menyiapkan hidangan dari dapur.

Malam semakin larut, satu persatu tamu mulai berpulangan. Tepat pukul 2 pagi para karyawan baru diperbolehkan untuk pulang. Flow, Milan dan Felix berjalan beriringan seperti biasa. Kontrakan mereka berdekatan dengan lokasi restoran, sehingga membuat ketiganya tak perlu repot-repot menaiki kendaraan umum untuk pulang. Mereka sudah terbiasa dengan berjalan kaki.

"Flow!" panggil seseorang, membuat ketiganya menoleh.






TBC

Revisi

20 juni 2024

Angin & DaunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang