Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali, sakit di kepalanya belum juga berkurang membuat mata itu sulit untuk terbuka.
"Ssshh...," ringisnya pelan sembari memposisikan dirinya untuk duduk.
Mengingat kejadian kemarin, membuat kepalanya semakin sakit. Tidak, bukan hanya kepalanya, tetapi hatinya juga. Namun, bukannya kapok, Flow justru semakin penasaran kenapa Tania selalu mengamuk ketika melihatnya.
Apalagi ditambah dengan ucapan Tania kemarin yang berteriak layaknya tengah di hampiri orang yang sudah meninggal. Ia bertekad untuk mencari tahu tentang hal tersebut, tetapi tidak sekarang. Cukup kemarin saja telinganya hampir kebas akibat mendengar kata-kata mutiara dari Felix karena kenekatannya itu.
Sebagai seorang kakak laki-laki, tidak mungkin Felix tenang saja ketika mendapati sang adik sudah tak sadarkan diri dengan kondisi kepala penuh dengan luka.
Panik.
Itulah perasaan yang pertama kali felix rasakan ketika mendapat telepon dari rumah sakit tempat dimana sang ibu dirawat.
Biasanya pihak rumah sakit akan meneleponnya jika Tania berada dalam kondisi tidak baik. Namun, kepanikannya bertambah kala pihak rumah sakit mengabarkan jika bukan hanya Tania yang terluka, tetapi adiknya juga.
Di situ perasaan Felix sudah tak bisa di gambarkan lagi, tanpa mengganti seragamnya Felix langsung bergegas menuju rumah sakit. Bahkan dia sampai lupa untuk meminta ijin kepada atasannya, beruntung ia sudah pamit kepada temannya, sehingga tidak menimbulkan suatu masalah yang mungkin bisa membuat Felix dikeluarkan dari tempatnya bekerja.
Ketika sampai di rumah sakit, Felix disugguhkan dengan pemandangan yang membuatnya sakit. Flow dengan mata tertutup serta kepala yang sudah dibalut perban putih, sehingga terlihat jelas bercak darah membekas di perban tersebut.
Tak hanya itu, di wajah Flow juga terdapat beberapa lebam, seperti area sudut bibir dan sudut matanya. Itu pasti karena ulah sang ibu yang sembarang melempar barang sehingga terkena wajah Flow.
Seharusnya Flow dianjurkan untuk rawat inap selama tiga hari, melihat kondisi kepalanya yang lumayan parah akibat benturan keras. Namun, meski begitu ia menolak untuk dirawat dengan alasan harus mengerjakan tugas kuliah yang menumpuk. Padahal alasan sebenarnya adalah karena biaya.
Flow cukup tau diri, ia tak mungkin kembali menyusahkan Felix dengan kondisinya sekarang. Apalagi kondisinya sekarang ini adalah akibat dari perbuatannya sendiri yang terlampau nekat.
Hari ini ia berniat untuk bekerja walaupun Felix sudah melarangnya, tetapi ia tidak bisa terlalu santai mengingat kemarin Felix sudah mengeluarkan uang dengan jumlah yang lumayan banyak untuk pengobatannya.
Hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk Flow bersiap-siap. Gadis itu tak membutuhkan make-up tebal di wajah untuk membuatnya menarik karena tanpa make-up sekalipun, wajah Flow sudah cantik. Mungkin efek perawatan yang sering ia lakukan dulu semasa keluarganya masih berjaya.
Gadis itu mengambil masker guna menutupi sedikit memar di bibirnya lalu bergegas meninggalkan rumah. Namun, belum sempat ia membuka pintu, terdengar suara ketukan dari balik objek di depannya itu. Buru-buru ia membuka pintu dan mendapati dua pria bertubuh besar sudah berdiri di balik pintu tersebut.
"Lo nggak lupa kan ini tanggal berapa?" ujar salah satu dari mereka membuat Flow mematung.
Ia tentu mengenal siapa kedua pria itu. Mereka adalah anak buah dari seorang rentenir yang empat tahun lalu meminjamkan uang kepadanya dan Felix. Saat itu, keduanya tidak punya pilihan lain. Harta mereka habis di sita, hanya tersisa asuransi pendidikan Flow hingga tamat SMA.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin & Daun
RomanceFlow sadar, kesengsaraan yang ia alami sekarang adalah tuaian dari apa yang pernah keluarganya tabur di masa lalu. Ayah di penjara, ibu di rumah sakit jiwa, hutang dimana-mana, bahkan harus merasakan bagaimana orang yang dicintai ikut membencinya. L...