Setiap perbuatan yang kita lakukan tentu ada konsekuensi yang akan kita dapatkan. Untuk itu, berhati-hatilah dalam bertindak. Terlebih jika tindakan tersebut melibatkan orang lain.
Dulu, konsep ini belum ada dipikiran Flow. Hidup yang terlampau dimanja membuat gadis itu sering berbuat sesukanya. Tak ada yang melarang ataupun memarahinya. Kedua orangtua Flow selalu membela anak itu sekalipun ia bersalah.
Pola asuh ini membuatnya tak pernah memikirkan konsekuensi dari setiap perbuatan buruk yang sering ia lakukan hingga berimbas di masa sekarang.
Sikap Nic terhadapnya tadi merupakan salah satu konsekuensi yang harus ia jalani saat ini. Flow tidak akan merasa bingung ataupun marah akan sikap Nic yang terlampau dingin kepadanya karena memang sudah seharusnya begitu mengingat penghianatan yang Flow lakukan dulu.
Ia teramat sadar bahwa kekecewaan Nic padanya sudah terlalu dalam. Mungkin sekarang bukan lagi kecewa, tetapi sudah menjadi benci.
Flow mengusap air matanya yang kembali jatuh. Sudah hampir satu jam gadis itu menangis dalam diam sehingga membuat pekerjaannya tak kunjung selesai. Selama satu jam ia berdiri di depan westafel, tetapi bukannya berkurang, cuciannya malah semakin menumpuk.
Beruntung tidak ada yang menyadari hal tersebut. Jika ada yang melihatnya mencuci piring sambil menanngis, lalu melaporkannya kepada bu Elsa, sudah pasti ia akan terkena siraman rohani karena dianggap tidak professional dalam bekerja.
"Flow, kok cucian lo nggak berkurang dari tadi?" tanya Bela yang entah sejak kapan sudah berada di sebelahnya. "Lo nangis?" tanyanya.
Flow yang sudah tertangkap basah tengah menangis mau tak mau harus mengaku walaupun tidak sepenuhnya jujur. "Iya Bel, kepala Flow agak nyeri," jawabnya bohong sembari mengusap pipinya yang sudah basah sejak tadi.
"Lo sih, udah tau sakit ngapain kerja. Sini gue yang nyuci, lo-" ujar Bela terpotong.
"Eh, nggak usah. Flow masih bisa kok Bel," tolaknya. Sungguh, Flow jadi merasa tidak enak karena telah membohongi rekan kerjanya itu. Apalagi Bela tipe orang cuek yang lebih suka mementingkan diri sendiri. Tidak peduli seberapa banyak pekerjaan rekan kerjanya, jika pekerjaannya sudah selesai maka ia lebih memilih untuk beristirahat dibandingkan membantu temannya yang masih memiliki banyak pekerjaan.
Jadi, Flow merasa bersalah karena sudah berbohong dan seolah ingin memanfaatkan kebaikan Bela yang sangat jarang gadis itu lakukan.
"Apaan sih lo asal motong-motong omongan orang! Tadi lo tuh disuruh bu Elsa ngadep Bos Besar ke ruangannya, makannya gue disuruh gantiin lo bentar. Lagian, lo pikir gue mau gitu bantuin lo secara cuma-cuma? Enak aja!" balas Bela ketus, membuat Flow ingin menarik kembali presepsinya yang sudah menduga jika Bela sedang berbaik hati. "Ngapain diem? Cepet sana! Ntar gue lagi yang kena semprot!"
"Iya-iya, Flow pergi," jawab Flow, kemudian pergi sebelum mulut tajam Bela kembali bersuara.
Ia berjalan menuju ruangan bosnya yang terletak di lantai dua. Jujur, gadis itu nampak gugup sekarang. Pasalnya, selama bekerja di tempat ini ia belum pernah sama sekali berhadapan langsung dengan Bos Besar yang merupakan pemilik restoran elite ini.
Apa ada yang melihat dan melaporkan kejadian antara dirinya dengan keluarga Nic tadi? Sehingga membuat Bos Besar marah karena kehilangan pelanggan. Namun, restoran ini tidak akan rugi karena Flow melihat dengan mata kepalanya sendiri jika sebelum keluar dari restoran, Nic membayar semua menu yang sudah ia pesan.
Lalu, untuk apa Bos Besar memanggilnya?
Flow semakin gugup kala kakinya sudah sampai di depan pintu ruangan sang bos berada. Ragu, tetapi mau tak mau ia harus masuk ke dalam. Flow menetralisir rasa gugupnya sejenak lalu memberanikan diri untuk mengetuk pintu cokelat tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin & Daun
RomanceFlow sadar, kesengsaraan yang ia alami sekarang adalah tuaian dari apa yang pernah keluarganya tabur di masa lalu. Ayah di penjara, ibu di rumah sakit jiwa, hutang dimana-mana, bahkan harus merasakan bagaimana orang yang dicintai ikut membencinya. L...