NINE

43 4 1
                                    

[Shania POV]

Sebenarnya, sebelum membunuh Fernando dan Crystal, aku sudah membunuh nenekku terlebih dahulu. Kenapa? Karena aku ingin belajar membunuh seseorang dengan sadis. Ya, bisa dibilang kalau nenekku adalah kelinci percobaanku.

Flashback...

"Nenek?"

"Ah, cucuku. Sudah lama kau tidak menemui nenekmu ini. Nenek sangat merindukanmu, sayang," kata Nenek sambil memberikan pelukan hangatnya kepadaku.

Aku membalas pelukannya dan langsung mengambil belati yang sudah kuselipkan di lengan bajuku.

Cuukkk!

Aku menusuk perutnya dengan belati itu dan ia langsung tergeletak tak sadarkan diri. Aku menyeret tubuh wanita tua itu masuk kedalam kamarnya. Dia masih hidup.

Aku mendudukkannya ke lantai dan mengganti pakaianku menjadi gaun merah itu. Aku mencabut belati itu dari perutnya. Aku membongkar perkakas membunuhku dan mengambil pisau daging. Aku mengoyak perutnya dan kukeluarkan semua isinya, yang terakhir, aku memenggal kepalanya.

"Maafkan aku nenek, kau sudah tua dan tak berdaya. Lebih baik kau istirahat di alam sana dengan tenang. Kau sudah tak dibutuhkan lagi di bumi ini," kataku sambil tersenyum iblis.

Flashback end...

Hari mulai larut, Daniel masih diam mematung duduk di sofa ruang tamu. Tadinya aku sedang pergi sebentar untuk membeli peralatan baru karena peralatan membunuhku sudah berkarat dan penuh dengan darah kering. Aku malas untuk membersihkan darah mereka yang penuh dengan dosa itu. Jadi, aku biarkan saja darah itu menempel di besi-besi tajam itu.

Setelah aku kembali dari toilet untuk mengganti pakaianku menjadi gaunku, aku menarik kursi meja makan ke arah tengah ruang tamu.

[Daniel POV]

"Duduk," ketusnya.

Aku langsung tersontak menoleh menatapnya. Sungguh luar biasa. Dia sangat cantik. Shania sangat cantik mengenakan gaun merah itu. Dia seperti putri raja yang berkharisma dan elegant. Mataku masih terpaku pada penampilannya yang sangat cantik.

"Apa yang kau lihat? Aku menyuruhmu untuk duduk di kursi ini. Bukan menatapku," Katanya dengan datar dan dengan tatapan meremehkan.

Tapi sayang, walaupun cantik, tetapi otaknya sudah tak waras. Mungkin dia sudah dijelma oleh iblis atau sudah menjadi budak iblis. Bagaimana bisa dia membunuh manusia seperti membunuh nyamuk? Dia sudah tak punya perasaan dan hati nurani.

Aku langsung mengikuti perintahnya dengan berjalan kearah kursi itu dan mendudukinya. Ia langsung mengikat kaki dan tanganku dengan tali tambang yang tebal dan kuat.

"Sepertinya kau santai sekali, eh? Kau sudah siap untuk menuju ke neraka?," tanyanya enteng sambil mengikat tali dikakiku.

Aku hanya diam dan tidak menjawab pertanyaannya.

"Mau mulai dari mana dulu ya?," tanyanya seperti kebingungan sambil mengelus-elus dagunya.

"Ah!"

Aku terkejut karena ia mendadak berteriak. Apakah dia mau membuat telingaku tuli, eh? Dasar wanita gila.

Tangan kotornya mengelus rahangku dengan lembut dan menatapku dengan dalam, "brewokmu sudah lebat dan panjang. Mau kucukur? Kau seperti bapak-bapak yang sudah memiliki lima anak. Kalau dicukur, kau akan terlihat seperti anak muda. Kau tidak tau gaya, huh?".

Apa? Dia sudah gila? Mau diapakan wajahku? Didalam benakku, aku sudah ketakutan. Dia benar-benar ingin menyiksaku. Aku pikir dia hanyalah bercanda.

Shania datang kearahku sambil memegang alat cukur yang hidup. Jeruji tajam itu bergetar dengan cepat. Keringat dingin mulai bercucuran dari pelipisku. Tatapannya yang menakutkan dan dalam. Tatapannya bisa dibilang seperti tatapan iblis.

Beberapa senti lagi, jeruji tajam itu akan menyentuh rahangku. Aku menutup mataku dengan erat.

"Ini polisi!"

Akhirnya, polisi datang diwaktu yang tepat, kalau tidak, mungkin aku sudah tak bernyawa. Aku bisa melihat ekspresi panik yang dilontarkan Shania. Dia menatapku sekejap dan langsung berlari kearah pintu. Dia mengunci pintu rumah dan mengambil kuncinya.

"Kau gila, huh? Kau memanggil polisi? Berani sekali kau! Aku akan menyiksamu lebih keji. Ingat saja itu! Bahkan aku akan membunuhmu didepan mata polisi itu!," katanya dengan ekspresi marahnya. Wajahnya sudah merah padam. Napasnya memburu dan keringat bercucuran di dahinya.

Aku tersenyum miring mendengar perkataannya. "Lakukanlah jika kau berani!," aku menantangnya. Dia pikir dia siapa? Dia pikir aku takut padanya? Dia hanya manusia. Dia hanyalah perempuan. Dia bukanlah Tuhan.

Dia tertawa kecut dan menodongkan alat cukur itu tepat diwajahku. "Kau menantangku? Baiklah! Aku kan membuktikan seberapa beraninya diriku!"

[Shania POV]

Aku langsung mengambil lakban hitam dan merekatkan ke mulutnya agar ia tidak berteriak hal yang macam-macam. Dia sudah berani melawanku? Kau akan menerima siksaan yang lebih kejam dari neraka.

Aku langsung berlari kebelakang rumah. Aku menyelinap ke belakang polisi-polisi itu agar mereka tidak bisa melihat keberadaanku. Aku langsung menghantam belakang kepala mereka dengan tongkat besi dan mereka langsung pingsan. Untung saja mereka hanya berdua. Jadi aku tidak repot untuk membunuh mereka.

Aku menyeret kedua polisi itu masuk kedalam rumah, mengikat mereka ke kursi dan melakban mulut mereka, sama seperti Daniel. Sekarang, aku sudah ada tiga mangsa yang siap kusiksa. Ah, pekerjaan yang memelahkan, tetapi menyenangkan.

Setelah mengikat kedua polisi itu, aku melirik Daniel sambil mengangkat kedua alisku dengan maksud mengejeknya. Aku harap dia mengerti isyaratku.

Sambil menunggu kedua polisi itu bangun dari alam mimpinya, aku duduk di sofa dengan santai sambil memainkan ponselku.

Tak lama kemudian, akhirnya kedua polisi itu bangun juga. Mereka seperti ayam yang terikat. Sangat ribut dan heboh.

"DIAM!"

Aku berteriak kepada kedua polisi itu. Aku mendekati mereka dan menatap mereka secara bergantian dengan tatapan membunuhku.

Aku mengelus wajah polisi yang bertubuh kekar, satunya lagi bertubuh kurus.

"Pak polisi, apakah kau mau pergi ke neraka malam ini?," tanyaku dingin dan menatapnya dalam-dalam. Dia menggelengkan kepalanya dengan kencang.

"Uh, aku tidak suka penolakan. Kau harus menerima hadiah dari seseorang. Jika tidak, itu tidak sopan namanya."

"Dan kau," Aku melirik polisi kurus itu dengan tatapan iblisku. Aku sangat terkejut melihat ekspresinya yang membalas menatapku kejam. Dia tidak takut padaku, huh?

"Kau berani menentangku? Jangan pernah macam-macam denganku. Kau pasti akan lenyap, pak polisi tersayang," kataku sambil menepuk bahunya.

Aku mengambil pisau daging dan...

Taaakkk..
Taaakkk..

TO BE CONTINUED...

Don't forget to Vote and Comment!

A Cursed Red DressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang