FIFTEEN

28 2 0
                                    

[Vivian POV]

Sekarang kita sudah berada di ruang bawah tanah rumah kita. Margaret masih lelap dalam alam mimpinya dan tubuhnya yang sudah kuikat di kursi.

"Kita mau mulai dari mana dulu?," tanyaku kepada Alfred yang sedang memutar-mutarkan pisau daging ditangannya.

Alfred melangkah kearahku dan Margaret. Lalu ia menyerahkan pisau daging itu kepadaku.

"Terserah padamu, sayang," katanya lembut.

Aku pun mengambil pisau itu dari genggamannya sambil tersenyum licik. Dengan cepat aku menebas kepalanya.

Pluk..

Kepalanya menggelinding kelantai. Akupun segera melepaskan gaun itu dari tubuhnya dan aku simpan dalam lemari. Tubuhnya kubakar dan abunya kubuang ke sungai.

●●●

Jarum jam sudah menunjukkan angka satu. Kami berdua masih terjaga karena ada yang tidak beres setelah aku membunuh Margaret.

"Kau terlalu egois, Vivian," ketusnya datar tanpa menoleh menatapku.

"Kalau kau tidak serakah, mungkin hal tadi tidak akan pernah terjadi dan kita tidak akan diganggu olehnya."

Matanya yang sendu menatapku. Aku bisa melihat rasa lelah dimatanya. Aku memeluknya erat dan kucium lehernya yang menegang karena ketakutan. Ketakutan yang disebabkan olehku.

"Tapi aku tertarik dan menyukai gaun itu. Aku iri padanya yang lebih cantik daripada aku saat di hari pernikahanku. Kalau kau menjadi aku, kau pasti akan tahu apa yang kurasakan," jelasku sambil mengusap punggungnya lembut.

Brak! Brak! Brak!

Aku dan Alfred tersontak terkejut dan refleks memusatkan pandangan kita ke lemariku. Pintu lemari itu sangat gaduh dan terbuka-tutup dengan sendirinya.

Alfred beranjak turun dari ranjang dan ingin memastikan apa yang terjadi pada pintu lemari itu. Aku berusaha untuk berpikir positif kalau itu hanyalah tikus, tapi tidak mungkin, rumah kita adalah vila mewah yang luasnya melebihi lapangan softball dan kebersihan di rumah kami sangat terjaga.

Tangannya ingin menarik gagang pintu lemari itu. Aku merasa perasaanku semakin tidak enak. Aku pun beranjak turun dan ingin menemaninya. Aku takut kehilangan dia.

Creekkk!

Tidak ada yang aneh.

Alfred terus menatap dan mencari apakah ada yang aneh atau tidak.

"Tidak ada apapun. Mungkin hanyalah angin," Katanya dengan datar lalu berbalik menghadapku.

Aku merasa ada yang janggal. Dengan perlahan tapi pasti, aku mengarahkan pandanganku kearah atas lemari.

Aku terkejut. Ada seorang wanita dengan wajah yang sangat menyeramkan menatapku. Wanita itu menggunakan gaunku. Ya, gaunku!

"AAAARRGGHHHH!"

Lalu semuanya gelap.

[Alfred POV]

Aku terkesiap karena teriakan Vivian dan aku panik saat ia mendadak pingsan setelah teriakanya.

"Vivian! Bangunlah!," teriakku sambil mengguncangkan tubuhnya dengan kencang.

Aku pun kembali melihat kearah dimana ia lihat tadi. Aku melihat kearah lemari, lalu diatas lemari. Tidak ada apapun yang menurutku aneh. Aku pun membopong tubuhnya dan kurebahkan ke ranjang. Aku biarkan saja ia terlelap dan aku pun tidur disampingnya. Tak lama kemudian, aku pun terjerumus masuk ke alam mimpi.

●●●

"Hei, Alfred."

"Siapa itu?," tanyaku kepada suara yang sangat tidak asing ditelingaku.

Apakah itu suara Vivian? Tidak mungkin. Suara Vivian sangat halus, sedangan suara itu lumayam serak.

"Aku ingin dia ikut denganku."

"Dia? Dia siapa?," tanyaku semakin bingung dengan perkataannya yang sama sekali aku tidak mengerti.

"Dia."

Mendadak pemandangan putih disekitarku berubah menjadi wajah orang yang kucintai, Vivian, yang sedang tersenyum kepadaku.

"Vivian!"

Aku tersontak dan langsung menatap sekelilingku. Ternyata hanya mimpi? Apa maksud dari mimpiku itu?

"Kau sudah bangun sayang?," suara halus itu menyapaku lembut di pagi hari.

Aku melirik jam yang melekat di samping kiri dinding kamar. Ternyata jarumnya sudah menunjuk angka sebelas. Apakah itu bisa dibilang pagi?

"Kau sangat lelap sekali. Aku tidak tega membangunkanmu. Kau pasti lelah karena kejadian semalam," katanya sambil menghampiriku dan langsung memberiku ciuman hangat.

Bibirnya panas. Aroma napasnya sudah terkontaminasi dengan kopi yang berhasil membuatku tersadar dari lamunanku. Aku membalas ciumannya dengan lembut namun tegas.

Dengan perlahan ia melepaskan ciumannya dan menatapku menggoda.

"Kau bau," ujarnya sambil tersenyum.

Aku langsung tertawa kecil lalu kembali menciumnya dengan penuh hasrat.

Prank!

TO BE CONTINUED...

Need your vote and comment!

A Cursed Red DressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang