ONE

88 6 6
                                    

[Alysa POV]

Aku mengibaskan gorden kamarku, mengizinkan cahaya matahari untuk masuk menyinari kamarku yang lebar. Aku membersihkan diriku yang masih bau dan masih menggunakan piyama. Setelah piyama yang kugunakan diganti menjadi kaos oblong dan celana denim yang pendek, aku beranjak pergi ke dapur untuk mengisi perutku yang keroncongan.

"Selamat pagi, Ayah," sapaku kepada Ayah yang sedang duduk di bar dapur sambil membaca koran paginya dan ditemani secangkir kopi panas.

"Selamat pagi," balasnya tanpa menoleh menatapku dan matanya tetap terpaku pada koran.

Aku mengambil dua lembar roti tawar dan meletakkannya ke piring kecil. Aku menarik pintu lemari dapur untuk mengambil selai coklat, mendadak aku merasa ada yang ganjal. Seperti ada yang sedang menatapku.

Ah, ternyata hanya arwah Ibuku yang sedang menatapku sambil tersenyum manis.

Aku langsung membalas senyumannya, "selamat pagi, Ibu," sapaku padanya.

Ayahku langsung mengangkat kepalanya dan menatapku dengan heran. "Ibu ada disini?," tanyanya dengan mata yang sudah membulat.

"Iya. Dia sedang duduk disamping Ayah," jawabku datar dan tanpa menoleh untuk menatapnya kemudian aku melanjutkan mengoles selai coklat ke rotiku.

"Jangan bercanda," katanya sedikit mengelak lalu menyeruput kopinya dengan buru-buru. "Ayah ada urusan pekerjaan di New York. Mungkin Ayah akan pulang minggu depan. Satu jam lagi Ayah harus sampai di bandara. Jaga dirimu baik-baik," sambungnya disertai dengan melipat koran itu lalu berjalan kearahku dan mengecup keningku.

Aku hanya merespon dengan datar, "jaga dirimu juga, Ayah," kataku lalu membawa rotiku sambil berjalan kearah ruang keluarga.

Setelah terdengar suara pintu ditutup, aku meletakkan piring yang berisi roti selai coklat itu ke meja mini yang terdapat disebelah kanan sofa yang sedang kududuki. Aku menekan tombol remote televisi untuk menyalakannya agar suara televisi bisa menemaniku dalam kesunyian. Sekarang aku sedang malas untuk berbicara dengan 'teman-temanku'.

"...lihatlah gaun ini, sangat indah. Tetapi, tahukah pemirsa? Gaun itu memiliki sejarah dan dipenuhi dengan misteri. Tidak ada seorangpun yang tahu. Belakangan ini saya selalu diteror oleh 'arwah' pemilik gaun ini. Jadi, sekarang saya sedang membutuhkan orang yang bisa melihat masa lalu, atau dengan kata lain, orang indigo. Saya akan membayar berapapun untuk orang indigo itu agar bisa menceritakan asal-usul dari gaun ini. Bagi para pemirsa yang berminat, Anda boleh datang ke alamat ini. Angel Gloria Street, Blok D, no.12, Chicago..."

Kata seorang wanita muda yang berbicara di talkshow pagi, mungkin dia adalah seorang designer atau wanita kaya? Entahlah, aku tidak peduli siapa dia. Yang perlu kupedulikan adalah bersenang-senang ke masa lalu. Sudah lama aku tidak bersenang-senang dan menghibur diriku sendiri.

Setelah roti selai coklat milikku sudah lenyap karena kumakan, aku segera bersiap-siap untuk berangkat ke alamat itu. Aku memakai sweater rajut yang hangat lalu memakai mantel tebal dan celana jeans panjang, aku tak lupa untuk melilitkan leherku dengan syal rajut agar aku tidak kedinginan. Sentuhan terakhir adalah beanie hat berwarna hitam untuk menghangatkan kepala dan telingaku. Cuaca hari ini sangat dingin, percuma jika ada matahari yang muncul. Cahaya matahari yang terik hanya menghasilkan sinar yang terang, tidak ada kehangatan dari sinarnya.

Aku sudah dipinggir jalan raya Chicago, untuk menunggu taksi yang lewat. Beberapa menit aku menunggu, aku benci ini. Semua orang yang berlalu-lalang menatapku dengan tatapan yang ingin menerkam. Mungkin tampang wajahku yang datar dan pucat. Mau bagaimana lagi? Tidak mungkin aku harus operasi plastik dan menarik perhatian orang? Aku benci menjadi pusat perhatian orang. Aku suka dengan wajahku yang datar dan menyeramkan ini. Jadi mereka tidak ada niat untuk berteman atau berhubungan denganku.

A Cursed Red DressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang