TEN

42 2 1
                                    

[Shania POV]

Aku mengambil pisau daging dan...

Taaakkk...
Taaakkk...

Kedua betis Daniel sudah berjatuhan dilantai. Daniel terus menerus berteriak dengan tak jelas karena mulutnya yang kulakban. Aku bisa melihat kedua polisi itu tercengang melihat aksiku. Inilah yang kusuka. Akhirnya ada juga penonton yang menyaksikan aksiku.

Aku mengambil gunting dan pisau silet. Aku menancapkan pisau silet ke tengah lidahnya lalu kutarik paksa sampai keluar. Aku menggunting lidahnya sampai putus. Selanjutnya aku sengaja menjatuhkan lidahnya kelantai.

Aku mengambil linggis dan...

Srakk..

Aku menyogok mulutnya sampai linggis itu tembus ke belakang kepalanya.

Kemudian aku melanjutkan mengambil gergaji mesin lalu aku mengoyak perutnya dan kuhaluskan isi perutnya.

Dia sudah mati. Daniel, adikku sudah mati.

Aku memalingkan pandanganku kearah polisi itu. Mereka sangat ketakutan. Mereka berkeringat dingin. Tubuh mereka bergetar. Ini semakin membuatku lebih semangat.

Aku menghidupkan kembali gergaji mesin itu dan...

Pluk..
Pluk..

Kepala kedua polisi itu berjatuhan dan bergelinding di lantai. Aku langsung memenggal kepala mereka. Tapi aku tidak puas hanya memenggal kepala mereka, jadi aku memainkan tubuh mereka yang sudah tak bernyawa dengan mengobok-obok isi perut mereka.

Ah, aku sangat lelah menghabisi tiga orang sekaligus. Tapi tidak ada waktu untuk istirahat. Aku segera bersiap-siap untuk kembali ke New York.

Sebelum aku meninggalkan rumah itu, aku membakar mobil polisi itu sampai lenyap dan langsung melarikan diri dan menuju ke New York.

[Bianca POV]

Sudah tiga jam aku dan pendeta menunggu Alysa untuk kembali. Tubuhnya masih duduk santai sambil memejamkan matanya.

Wush..
Wush..
Wush..

Mendadak ada angin yang kencang dan datang dari arah yang berlawanan membuat api lilin bergoyang-goyang ria. Aku menatap pendeta dengan ketakutan dan pendeta Mike membalas menatapku dengan ketakutan juga. Aku ingin menelan salivaku, tapi sulit. Rasanya sangat kering.

Drrttt..

Tubuh Alysa bergetar, semakin lama semakin kencang. Ini membuatku panik.

"Pendeta! Lakukan sesuatu!," suaraku setengah berteriak karena sudah larut dalam kepanikan.

Pendeta Mike menyipratkan air suci ke wajah dan tubuh Alysa sambil mengucapkan, "pergilah, siapapun engkau, janganlah mengambil hak yang bukan milik engkau, kembalilah dan tunduk pada Yesus Kristus sang pengasih!"

Tubuh Alysa berhenti bergetar? Tidak. Getarannya semakin kecang!

Wush.

Lilin di ruangan ini mendadak padam karena tiupan angin yang kencang entah dari mana datangnya. Ruangan ini sangat gelap. Hitam. Tidak ada satu benda atau sinar pun yang nampak. Aku seperti buta.

"Pendeta Mike?," tanyaku sehalus dan sepelan mungkin karena suasana sangat hening.

"Bianca? Kau tetap disini?," tanya pendeta Mike yang sama pelannya seperti suaraku.

"Iya. Pendeta masih diam ditempat bukan?," tanyaku.

"Alysa hilang."

"APA?," aku berteriak sampai bisa mendengarkan gaung di ruangan ini.

Aku meraba-raba kursi Alysa. Nihil. Dia benar-benar tidak ada. Aku meraba sakuku untuk mengambil ponselku. Aku menghidupkan flashlight dari ponselku.

Tak.

Suara yang keluar dari ponselku dan menandakan sudah hidupnya flash. Aku menyenter pendeta Mike lalu aku menyenter gaun merah dihadapan kami. Masih tidak ada yang berubah dengan mereka. Aku mencoba untuk memberanikan diri untuk menyenter seluruh isi ruangan.

"AHH!"

Aku berteriak histeris. Aku terkejut. Ponselku nyaris jatuh dari genggamanku. Alysa berada di ujung ruangan tepatnya dibelakang kita. Posisi Alysa sedang duduk dilantai sambil menekukkan kakinya, tangannya memeluk kakinya dan kepalanya menunduk sampai semua rambutnya menutupi seluruh tangan dan kakinya.

Dengan segenap keberanian, aku mendekatinya.

"Alysa? Kau sudah kembali?," Tanyaku kepadanya.

Ia mengangkat kepalanya dan...

Biji manik matanya hilang!

"Aku kembali."

"AAAHHHHH!!!"

TO BE CONTINUED...

Don't forget vomment!
Sorry kalo gaje :v

A Cursed Red DressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang