Pesantren, salah satu lembaga pendidikan berbasis agama islam di negeri Indonesia. Ada asrama serta ruang belajar layaknya sekolah biasa. Bimbingan diberikan hampir 24 jam, seperti bagaimana menumbuhkan jiwa kebersamaan, saling tolong menolong antar sesama santri, termasuk dalam menyelesaikan persoalan pribadi bersama seorang uztad yang dulunya juga berasal dari pesantren yang berbeda. Hasil dari bimbingan tersebut menjadikan santri lebih mandiri dalam menyelesaikan permasalahan atau pekerjaan sehari-hari. Kehidupan santri diatur dengan barbagai tata tertib. Tidak ada kata terlambat dalam peraturan. Hukuman akan berlaku bagi mereka yang berani melanggar.
Hal tersebut yang mendasari beberapa orang tua mengajak anaknya agar melanjutkan sekolahnya ke Pesantren. Agar anaknya bisa memperoleh pengalaman kehidupan yang didasari dengan kokohnya agama, kecil besarnya biaya pendidikan akan disanggupi semaksimal mungkin. Namun, tidak dengan seorang anak yang dulunya nakal, dan sekarang menjadi lebih baik, mengerti dengan jati dirinya sendiri dan mampu memilah mana yang baik dan buruk dilakukan.
Suka duka selama di Pesantren menjadi banyak hal yang sangat berguna bagi Petrik, bocah nakal yang akhirnya masuk pesantren dan mengalami berbagai macam pèristiwa menarik selama 3 tahun menempuh pendidikan. Petrik juga satu anak 7 bangsa yang beruntung pernah mencicipi masa-masa menjadi seorang santri, hidup mandiri dengan segala peraturan yang belum pernah dijalani di kampung halaman.
Petrik dikenal sebagai anak yang paling nakal di komplek perumahannya. Setiap perkataan orang tuanya seperti saat menasehati kesalahannya, Petrik tidak pernah mendengarkan, malah Petrik lebih banyak kabur ketika nasehat yang dianggap ceramag itu sedang diberikan.
Kelakuan Petrik di sekolahpun juga melengkapi gelarnya sebagai anak ugal-ugalan versi mading komplek yang tersimpan di papan pengumuman, terletak di sebelah pagar Masjid.
Petrik mulai menyadari keinginannya untuk belajar di Pesantren saat melihat Budi yang mengisi ceramah di masjid komplek. Budi adalah teman se RT, satu tahun lebih tua darinya. Keinginan Petrik semakin bertambah kuat ketika pada halaman ke-10 di lembar kertas buku agenda Ramadhan miliknya berisi tanda tangan Budi. Petrik yang melihat Budi berceramah seakan-akan ingin seperti itu juga, berbicara di depan jamaah dengan ucapan yang selalu di amini dan diikuti.
Ceramah, hal itu saja yang dibayangkan Petrik jika bisa bersekolah di Pesantren.
Setelah memperoleh ijazah Sekolah Dasar, Petrik meminta izin kepada orang tuanya agar bisa melanjutkan sekolah di Pesantren seperti Budi. Petrik belum terlalu paham apa itu pesantren beserta isi di dalamnya. Yang jelas, petrik hanya ingin mengikuti jejak temannya yang bisa ceramah, Berdiri di Mimbar, dan dilihat oleh ratusan jemaah. Agar bisa ceramah seperti temannya, Petrik bersikeras meminta kepada maminya supaya didaftarkan di Pesantren.
Ada beberapa syarat yang harus ditempuh oleh Petrik. Tes potensi akademik, hafalan surat-surat pendek, bacaan al-quran, serta wawancara singkat tentang motivasi masuk pesantren. Hasil tes diumumkan sekitar dua minggu kemudian, Petrik yang sudah yakin mendapatkan hasil positif tidak ingin mendaftar lagi di sekolah-sekolah lain.
Dua minggu berlalu,
Saat pengumuman tes disebarkan di madding pesantren.Banyak dari anak-anak yang lulus di Pesantren bergembira, namun ada juga yang menangis karena akan berpisah dengan orang tuanya selama proses pendidikan di Pesantren.
“Horeee,”
teriak Petrik ketika mengetahui namanya termasuk dalam 100 anak yang memperoleh pendidikan di Pesantren. Petrik bersyukur dan tidak menyangka akan lulus dengan usaha yang terkesan biasa-biasa saja. Petrik tidak belajar sama sekali, karena tidak mengetahui apa saja ujian yang akan dilaksanakan. Namun, pada saat tes dimulai, Petrik menjawab soal dengan lancar. Hafalan Al-quran berupa sambung menyambung ayat dikerjakan dengan sempurna. Walau tidak bisa mengaji dengan irama syahdu, setidaknya Petrik bisa melantunkan ayat Al-quran dengan tajwid yang benar. Begitu juga dengan wawancara, Petrik menjawab semua pertanyaan dengan jelas dan tidak ada keraguan. Niat dan keinginan kuat yang menjadi modal bagi Petrik agar diterima menjadi santri.
Niat yang baik tentu akan memberikan proses yang baik pula. Setiap anak bebas memilih sekolah yang akan dituju untuk masa depannya. Bimbingan harus tetap diberikan saat anak menetukan sendiri mana yang baik dan buruk dilakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lika Likuku Ala Pesantrenku
Short StorySebuah kisah dari seorang anak yang menempuh pendidikan selama beberapa tahun di sekolah agama. Pengalaman yang tidak terlupakan baginya, menjadi lika liku yang penuh dengan drama disana sini. Kocak serta berisi pengalaman yang mungkin bisa menjadi...