Awal Curhat

161 1 0
                                    

Dua minggu kemudian

Setelah Petrik dinyatakan lulus, segala persiapan mulai dilakukan seperti menyediakan baju sehari-hari serta baju untuk sekolah, buku, peralatan mandi dan tidak lupa perangkat solat seperti sarung, sajadah termasuk al-quran.

"Adeeekkk !!!" Teriak mami memanggil Petrik yang sedang bermain kelereng bersama temannya di lapangan depan rumah.

"Iya, tunggu dulu, cerewet banget sih mi," ujar Petrik dengan nada tinggi.

Selain nakal, kelakuan Petrik sering membuat orang tuanya menghela nafas dalam-dalam dan berucap 'sabaar' saat Petrik menghindar dari panggilan.

"Kamu, kalau dipanggil selalu lama, katanya mau masuk pesantren," ucap mami dengan kesalnya.

"Iya mi, adek kan bentar lagi jadi santri. jadi, baiknya pasti ketularan nanti," kata Petrik dengan santainya.

"Hmmm, terserah kamu aja, tapi awas, jangan nangis-nangis pas udah disana," peringatan dari mami yang seketika itu baru terfikir oleh Petrik, jika di Pesantren, tidak akan ada mami atau papi, tidak ada dendeng dan kentang yang selalu menjadi santapan favorit baginya.

Sehari setelah persiapan, Petrik akhirnya memulai petualangan hidup ke Pesantren. Sekolah yang akan membawa Petrik ke jalan menuju keberhasilan seperti yang diharapkan oleh orang tua serta kerabatnya.

"Semoga kamu betah ya nak ya," ujar mami.

Petrik yang diantar dengan menggunakan mobil hanya bisa diam sembari memainkan Ipad dengan games favoritnya.

Sesampaianya di Pesantren, jidad Petrik langsung mengkerut melihat banyaknya santri baru yang menangis saat ditinggal orang tuanya.

"Nggk mau, aku mau pulang ibu," ujar salah seorang santri baru yang akan ditinggal pergi ibunya.

Husen 02, asrama yang ditempati Petrik selama bernaung di Pesantren.

Petrik melihat beberapa santri melakukan kegiatan yang berbeda-beda, mulai dari berolaraga, berkegiatan seni, serta ada juga yang sedang menghafal ayat suci al-quran.

Sampai di asrama, Petrik langsung disambut oleh Uztad Tomi yang memakai baju gamis.

"Asalamualaikum wr wb, ahlan wahsahlan filbaitina," ujar ustad Tomi dengan menggunakan bahasa arab.

"Ni pak ustad ngomong apa ya," kata Petrik dalam hati.

Mami menjawab salam ustad dengan riangnya, "walaikumsalam ustad, hihi, perkenalkan anak saya namanya Petrik, gendut bangetkan ustad, semoga di pesantren bisa kurus ya ustad, hihihi," ketawa mami yang membuat ustad Tomi agak sedikit mundur karena terlalu dekat dengan mami.

Ustad Tomi kemudian memberikan arahan kepada Petrik serta orang tuanya menuju lemari serta tempat tidur yang akan di tempati Petrik selama di Pesantren.

Sampai di depan lemari, Petrik melihat seisi ruang ukuran10 x 8 meter yang masih banyak debu dan sarang laba-laba pada sudut ruangan.

Tidak ada kemewahan saat Petrik memasuki asrama Husen 02, nama asrama yang menjadi tempat tinggal selama di pesantren.

Saat mempersiapkan segala kebutuhan santri baru, orang tua diizinkan masuk asrama, itupun hanya sampai magrib, karena semua santri akan dikumpulkan oleh Ustad masing-masing asrama untuk diberi pengarahan serta tata tertib di Pesantren. Sebelum pulang ke rumah, Mami memberi pesan agar Petrik selalu menjaga diri dan tidak nakal selama berada di Pesantren.

“Ikuti peraturan dan berteman baik dengan sesama santri ya dek,” ujar Mami saat memeluk Petrik.

Petrik sedari lahir sampai masuk pesantren tidak pernah ditinggal mami hanya bisa menundukkan kepala dan melambaikan tangan kananya, “hati-hati ya Mami”.

Petrik hanya diam dan menahan air mata saat Mami dan Papi hilang dari penglihatan. Petrik kembali ke asrama bersama Ustad Tomi dengan dada masih busung pertanda tidak adanya rasa sedih setelah ditinggal orang tua.

Sampai di Asrama, Petrik menuju lemari untuk mengambil sabun pencuci muka. Saat mengambil gayung yang berada di rak bawah lemari, Petrik melihat sebuah kertas plastik diantara dua buku tulis yang disusun rapi. Dengan heran, Petrik langsung mengeluarkan kertas yang ternyata isinya adalah foto Mami dan Papi yang sedang tersenyum di Pantai. Air mata mengucur deras membahasi pipi tembem Petrik. Foto tersebut ternyata dimasukkan sendiri oleh Mami agar Petrik ingat orang tua yang selalu ada buat kesehariannya.

Agar tidak terlihat cengeng di hadapan teman-teman asrama, Petrik langsung naik ke dipan, berpura-pura tidur padahal selimut yang menutupi muka Petrik difungsikan untuk menahan air mata yang terus mengalir.

Seminggu berada di pesantren terasa lama bagi Petrik. Beberapa santripun juga ada yang izin pulang kerumah. Petrik sempat dihubungi oleh Mami lewat telepon dari asrama.

“asalamualaikum nak, apa kabarnya anak Mami,? tanya mami.

“walaikumsalam mi, baik-baik saja,” jawab Petrik sambil memalingkan muka dari depan meja staf asrama. Staf yang memanggil Petrik melalui mixer asrama tak kuasa menahan tawa setelah melihat santri yang masih terlihat sombong menangis ketika dihubungi oleh orang tuanya.

Seperti biasa, mami menanyakan kabar dan keadaan Petrik, “gimana di Pesantren, enak ?,

“ya begitulah mi, asik saja mi, ustadnya juga baik”, mengusap mata menghapus jatuhnya air mata.

“mami mau kesana besok ya,” kata mami

”ah, nggk usah saja mi, aku mandiri mi,” jelas Petrik dengan perasaan gengsi.

“ya udah kalau gitu, rajin-rajin ya nak ya, ikutin kata Ustad Tomi, jangan nakal, sholat jangan telat,” saran Mami.
“iya mi”, jawab Petrik.

Telepon mati dan Petrik berjalan menuju asrama dengan kepala menunduk kembali. Petrik ingin sekali bertemu dengan orang tua. Petrik belum mendapatkan kesenangan seperti main dengan bebasnya, bersenda gurau  d seperti yang diharapkan saat pertama menginjakkan kaki di Pesantren.

Banyak pengalaman berharga yang dapat Petrik ambil selama di Pesantren. Petrik yang saat itu memiliki hobi curhat dalam bentuk tulisan, ingin membagi serta memberikan pengalaman suka dukanya selama di Pesantren.

Dan, Petrik mulai menulis…

Lika Likuku Ala PesantrenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang