8. Dua burung kecil

55 3 0
                                    

Warning :
Scene Self Harm, Percobaan Bundir
🚩🚩

Ubah latar menjadi hitam untuk pengalaman membaca lebih baik.

🕊

Sebuah keheningan memekakkan telinga seorang gadis yang sedang duduk termenung, bersandar di dinding kamarnya. Ruangan itu hanya disinari oleh bias cahaya bulan yang masuk dari sela-sela jendela. Ia menatap kedepan, menatap sebuah bayang kebahagiaan yang sangat ia kenal tetapi terasa jauh.

Bayang kebahagiaan yang kian memudar seiring tawa nya yang tidak lagi bermakna. Bayang dari sesosok penuh cinta di matanya, mata yang selalu menatap dunia dengan indah dan terang.

Lalu, muncul lagi sosok yang berbeda. Sosok yang melengkapi sosok sebelumnya.

"Sebelumnya, kau memang Liona." Ujar nya memulai.

Liona tersenyum seraya bening air mata nya mengalir terbias cahaya malam, "ya." Sahutnya nyaris tidak terdengar.

"Ternyata ini sosok Liona yang dari dulu tidak aku kenal," suara itu seperti masuk kedalam pikirannya. Gadis itu mengangguk pelan, masih terulas senyum tipis di bibir nya.

"Dimana Bindi ku?" Pertanyaan itu sukses membuat senyumannya memudar.

Ia menyentuh dada nya pelan seraya berkata ;

"Disini, dia tidak kemana-kemana. Hanya lelah dan terluka, ia tak sanggup menghadapi semuanya," gadis itu menatap sosok itu sekali lagi.

"Aku tidak bisa memahami Bindi mu, walaupun dia adalah diri ku sendiri." Lanjut nya.

Sosok itu perlahan memudar tersapu angin yang berhembus masuk ke dalam kamar dan seraya berkata,"kau pasti memahami nya, karena dia ada di dalam dirimu. Bindi adalah kamu."

Gadis itu bangkit dan mengibaskan kedua tangannya ke udara mencoba menyentuh sosok itu. Mulutnya bergumam kecil, memohon kepadanya untuk tidak pergi. Gumaman kecil nya berganti dengan teriakan seraya degup jantung nya semakin cepat.

Ia terduduk lagi, tatapannya kembali kosong. "Nirmala, aku gak sanggup. Bawa aku... bawa aku." Mulut nya meracau.

Lagi, hal itu terbesit kembali di pikiran Liona,"apa aku harus menyusul mu?"

Kamu mau nyerah?

Aku hanya lelah

Suara itu terdiam, suara yang berasal dari dalam kepala nya sendiri. Sisi nya yang lain, sebuah keraguan akan sakit nya mati.

Dia disana sudah berada diambang keputusasaan nya, nyawa nya sudah hilang separuh sejak bertahun-tahun yang lalu, dirinya bertahan karena sebuah kemungkinan kepada diri dan secuil harapan.

Liona tersenyum kecil kala mengingat dirinya masih memiliki harapan yang kian tipis terkikis deburan ombak lautan badai hidup yang belum usai.
Harapan masa kecilnya yang terus patah.

Nirmala, apakah dengan cara ini aku bisa bertemu kamu?

Ia menatap pisau kecil yang sudah berada di genggamannya, jarinya mengikuti lekuk pisau itu perlahan. Pisau itu adalah saksi bisu kenestapaan yang melanda gadis kecil.
Gadis yang bahkan belum pernah merasakan bahagianya sebuah keluarga harmonis walau hanya sehari.

Ia mengangkat tangan kirinya, mengusap perlahan pergelangan tangannya, menerawang kedalam. Tampak urat-urat tipis itu sekilas terlihat dari balik kulit.

Jari-jari tangannya sudah dipenuhi bekas luka yang dia buat sendiri saat 'kambuh', kali ini gelanyar aneh itu seperti meminta lebih. Ia menggoreskan di telapak tangannya, membuka luka nya yang sudah nyaris mengering.

Ia memejamkan mata, rasanya seperti tercubit kecil saat lapisan kulit perlahan tersayat. Satu lapisan, dua lapisan, tiga lapisan -- darah mulai menyeruak keluar. Pada saat itulah, rasa pusingnya perlahan terasa ringan, penglihatannya semakin buram karena sudah terlalu banyak menangis, ia menatapi darahnya merembes.

Ia menggores terlalu dalam, tetapi tidak ada ringisan keluar dari bibir kecilnya. Tubuhnya tidak bereaksi seperti biasanya, tubuh Liona sudah mulai mengenal rasa sakit itu. Ia menikmatinya, sampai luka yang sangat dalam itu tidak lagi membuatnya meringis.

Namun, tidak menghilang. Tidak seperti biasanya. Rasa pusing dan gelanyar aneh di badannya tidak menghilang.

Ia mulai panik seraya menyapu darah di luka nya dengan tergesa saat menyadari itu, memikirkan apa yang akan ia lakukan selanjutnya.

Pandangan Liona kembali beralih ke arah pergelangan tangannya, ia mengusapnya perlahan untuk kesekian kali.

Ia bertanya lagi kepada dirinya sendiri, tentang makna keberadaan dirinya di dunia. Alasan untuk hidup, ia mencarinya kembali. Namun sekeras ia mencari, sekeras itu pula semuanya menjadi jelas, bahwa ia sama sekali tak mempunyai alasan apapun.

Pisau sudah berada di kulit halus gadis itu, ia mulai menggoresnya sedikit, rasa tercubit itu muncul seraya ia terus menatap nyalang pisau itu. Ia menggoreskan kembali, darah pun mulai muncul sedikit. Matanya terpejam merasakan peningnya berubah sedikit menjadi lebih ringan.

Gadis itu membuka matanya lagi, lalu dengan satu hentakan ia menggores urat nadinya. Seketika darah segar menyembur dari pergelangan tangannya -- sembari memandangi darahnya, "Nirmala...sudah empat tahun, aku belum bisa menerimanya, masih banyak yang tertinggal."

Ia memejamkan matanya lagi, tubuhnya kembali bereaksi. Rasa yang belum pernah ia rasakan, matanya kembali terbuka dengan sedikit, tubuhnya menjadi lebih rileks dari biasanya.

Dengan keadaan setengah sadar ia mendengar suara ibunya berteriak dari balik pintu kamarnya. Suara itu terdengar sangat jauh. Liona tersenyum tipis, ia melihat dua burung kecil terbang di atas tubuhnya.

Gerakan tirai mulai melambat seiring pandangannya menggelap sebelum ia melihat wajah ibunya.

"Ma," lirihnya tidak terdengar sebelum gelap mendera.

🕊

Beberapa orang pernah berkata,
Mimpimu bisa saja sirna seiring pandanganmu berubah terhadap dunia.

Senyummu akan memudar berganti dengan air mata,
Aku pernah bertanya pada ibuku
"Bagaimana bisa manusia menangis? Apa yang membuat manusia mengeluarkan air mata?"

"Mereka menangis karena sedih." Jawabnya

Aku bertanya kembali,

"Apa itu sedih?"

Ibuku terdiam, tidak menjawab pertanyaanku.

Namun, seiring berjalannya waktu.
Aku tahu apa itu sedih.
Pertama kali aku menangis dengan menyadari
"Inilah kesedihan yang ibu katakan."

Nirmala

Apakah kau melihat ku dari atas sana?
Melihat aku yang nahas ini

Kau pergi membawa mimpi dan harapan kita berdua, menyisakanku disini yang berusaha mengais debu asa yang masih tersisa dari kepergianmu.

Nirmala

Ingatkah kala itu? Di sore hari yang terguyur hujan, taman buah yang ibumu janjikan kepadamu. Tawa terakhirmu, tawa terakhirku, aku tidak pernah merasa sehidup itu. Itu terakhir kalinya.

Nirmala

Aku melihat dua burung kecil itu lagi, mereka terbang di atas tubuhku. Apakah aku akan bertemu kamu sebentar lagi?

🕊



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 20, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Little BIRD : Junior High School (On going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang