Part 16

1K 104 11
                                    

Jongin dan Soojung masih diluar, masih menenangkan Jongin. Lebih lama dari yang seharusnya, mereka berciuman dan bercumbu sampai keduanya sulit bernapas oleh hasrat yang tak terpenuhi. Erang lirih terdengar dari Jongin, dan pria itu menarik Soojung berdiri dari bangku, membawanya kembali ke dalam rumah.

Sementara bergabung diantara para tamu, mengobrol riang dan berpura-pura tertarik pada saran yang mereka tawarkan, Soojung terus mencuri pandang pada Jongin kapanpun bisa. Pria itu tampak tenang hingga titik tegar, mempertahankan sikap seperti serdadu. Semua orang mendekatinya, bahkan merekaa yang tingkat sosial darah bangsawan jauh diatasnya. Dibalik tampak luar Jongin yang terkendali, Soojung merasakan kegelisahan pria itu, bahkan mungkin rasa perlawanan, dalam usaha mencoba menjadi dirinya yang dulu, pria itu merasa asing ditengah kawan lama, yang tak satupun ingin menggali kenyataan tentang apa yang ia alami dan lakukan selama perang.

"Soojung," Seohyun disamping Soojung, lembut menarik gadis itu pergi sebelum terlibat percakapan lain. "Ikutlah denganku. Aku ingin memberikan sesuatu padamu."

Soojung membawa Seohyun ke belakang rumah, ke tangga yang mengarah keruang dilantai dua.

Mereka duduk akrab ditangga.

"Kau sudah banyak berbuat kebaikan untuk Jongin," kata Seohyun. "Kupikir saat pertama kembali dari perang dia sudah kehilangan semua kemampuan untuk bahagia. Tapi sepertinya dia lebih santai dengan diri sendiri sekarang...tidak terlalu muram atau tegang. Bahkan ibunya menyadari perbedaan itu—dan beliau bersyukur."

"Ibunya baik padaku," kata Soojung. "Meskipun jelas aku bukan jenis menantu yang dia harapkan."

"Memang," aku Seohyun tersenyum lebar. "Meskipun begitu, beliau bertekad untuk memanfaatkan yang terbaik dari yang ada. Kau satu-satunya peluang untuk menjaga nama Kim tetap berada dalam cabang keluarga. Jika kau dan Jongin tidak punya anak, semua kekayaan akan jatuh ke saudara sepupu beliau, hal yang tak mungkin beliau hindari. Kurasa dia akan jauh lebih menyukaiku, andai aku bisa mengandung anak dari Kim Kyuhyun."

"Aku menyesal," gumam Soojung, menggenggam tangan Seohyun.

Senyum Seohyun berubah getir. "Memang sudah ditakdirkan begitu. Itu pelajaran yang harus ku ambil. Beberapa hal memang tidak ditakdirkan terjadi, dan orang bisa entah menyesalinya, atau menerimanya. Kyuhyun mengatakan padaku menjelang ajal bahwa kami harus bersyukur atas waktu yang telah diberikan. Dia bilang melihat segalanya dengan sangat jelas, saat hidupnya hampir berakhir. Itu menggiringku untuk memberikan sesuatu padamu."

Soojung memandang menanti.

Hati-hati Seohyun mengeluarkan sebuah surat yang terlipat rapi dari lengan bajunya. Benda itu surat yang tidak disegel.

"Sebelum kau membacanya," kata Seohyun. "Aku harus menjelaskan. Kyuhyun menulisnya satu minggu sebelum dia meninggal—dia berkeras menulisnya sendiri—dan dia menyuruhku memberikannya kepada Jongin saat—atau jika—dia kembali. Tapi setelah membacanya, aku tidak yakin apa yang harus kulakukan dengan surat ini. Saat Jongin kembali dari perang, dia begitu rapuh dan gelisah...kupikir lebih baik menunggu. Karena apapun permintaan Kyuhyun, aku tahu diatas segalanya aku tidak boleh mencelakai Jongin lebih jauh lagi, setelah semua yang dilalui."

Soojung terbelalak. "Menurutmu surat ini bisa menyakiti dia?"

"Aku tidak yakin. Meskipun satu keluarga, aku tidak cukup mengenal Jongin untuk menilainya." Seohyun mengangkat pundak tak berdaya. "Kau akan tahu maksudku saat membacanya. Aku tidak ingin memberikannya kepada Jongin kecuali yakin ini baik baginya, dan tidak menciptakan semacam siksaan yang tak disengaja. Kuserahkan ini padamu, Soojung, dan aku percaya pada kebijakanaanmu."

.

.

.

Love LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang