Part 18

945 89 5
                                    

Jongin tidak merespons kata-kata Lee Ahn. Meskipun begitu, karena berdiri disebelah Jongin, Soojung melihat kedut jari disisi tubuh pria itu, dan kedip ganda kelopak mata yang nyaris tak terlihat. Tampak muram dan jauh, Jongin mengangguk singkat ke pengurus rumah tangga. "Terima kasih, Lee Ahn."

"Ya, tuan."

Tanpa berkata apapun pada Soojung, Jongin meninggalkan ruang duduk dan melangkah lebar ke perpustakaan. Soojung seketika bergerak.

"Jongin—"

"Jangan sekarang."

"Apa yang diinginkan Kolonel Hyunseung sebenarnya?"

"Bagaimana aku tahu?" tanya pria itu singkat.

"Apa menurutmu ada hubungannya dengan medali yang akan kau dapatkan lusa?"

Jongin berhenti dan berbalik menghadap Soojung dengan kecepatan agresif yang membuat gadis itu tersentak ke belakang. Sorot mata itu keras, setajam pisau. Soojung menyadari pria itu dikuasai amarah yang terjadi saat sarafnya teregang hingga titik atas. Sekedar disebutnya nama Kolonel Hyunseung membuat pria itu sepenuhnya gusar. Tapi Jongin menarik napas dalam beberapa kali dan berhasil mengendalikan emosinya yang mengamuk. "Aku tidak bisa bicara sekarang," gumam pria itu. "Aku butuh jarak, Soojung." Pria itu berbalik dan melangkah pergi.

"Jarak dariku?" tanya Soojung, mengernyit dibelakang Jongin.

Suasana dingin diantara mereka bertahan sepanjang sisa hari itu. Jongin tak banyak bicara saat makan malam, yang membuat Soojung merana dan gusar. Dikeluarga Jung, kapanpun terjadi konflik, selalu ada orang lain dirumah untuk bicara. Meskipun begitu, saat seseorang sudah menikah dan belum punya anak, bertengkar dengan suami berarti, tak diragukan lagi, dia tidak memiliki teman. Haruskah ia meminta maaf pada Jongin? Tidak, sesuatu dalam dirinya menolak mentah-mentah gagasan itu. Ia tidak melakukan kesalahan apapun, ia hanya bertanya.

Tepat sebelum tidur, Soojung teringat sesuatu yang disarankan Taeyeon: jangan pernah pergi tidur dalam keadaan marah dengan suamimu. Menggunakan gaun tidur dan jubah, Soojung mencari didalam rumah hingga menemukan Jongin diperpustakaan, duduk didekat perapian.

"Ini tidak adil," ujarnya, berdiri diambang pintu.

Jongin mendongak memandangnya. Cahaya api menerpa wajah pria itu, tangannya menyatu rapi, seperti pisau lipat. Janggu tiduran dilantai disebelah kursi, mengistirahatkan dagu diantara tapak depannya.

"Apa yang telah kulakukan?" lanjut Soojung. "Kenapa kau tidak mau bicara denganku?"

Wajah suaminya tanpa ekspresi. "Aku bicara denganmu."

"Ya, seperti orang asing. Sepenuhnya tanpa rasa sayang."

"Soojung," kata Jongin, tampak lelah. "maafkan aku. Tidurlah. Semua akan baik kembali besok, setelah aku pergi menemui Hyungseung."

"Tapi apa yang telah ku—"

"Ini sama sekali bukan apa yang kau lakukan. Biar aku mengatasi ini sendiri."

"Kenapa aku harus disingkirkan? Kenapa kau tidak bisa mempercayaiku?"

Ekspresi Jongin berubah, melunak. Pria itu memandangnya dengan sesuatu yang mengisyaratkan semacam rasa iba. Berdiri, Jongin menghampirinya perlahan, sosoknya besar dan gelap dibalik pedar perapian. Soojung menyandarkan tulang punggungnya di kusen pintu, detak jantungnya kian cepat saat pria itu mencapainya.

"Menikahimu merupakan tindakan yang egois," kata pria itu. "Aku tahu tidak akan mudah bagimu menerima apa yang bisa kuberikan padamu dan tidak bisa meminta yang lebih banyak. Tapi aku sudah memperingatkanmu." Tatapan pekat pria itu menyusurinya. Meletakkan sebelah tangan dikusen diatas Soojung, Jongin membawa tangan yang satu lagi ke bagian muka gaun gadis itu, tempat gaun tidur brokat putihnya mengintip dari kerung leher. Pria itu bermain-main dengan potongan renda, dan menunduk diatas kepala Soojung. "Bagaimana kalau aku bercinta denganmu?" tanya pria itu lembut. "Apa itu cukup?"

Love LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang