tujuh

1.8K 241 8
                                    

.

December D

.

Jungkook mengeratkan syal di lehernya. Langit sudah berwarna emas dan angin semakin tajam terasa menusuk permukaan kulitnya.

Ia melangkahkan kakinya keluar dari gedung fakultasnya, melihat pohon-pohon dengan daun kekuningan bergerak pelan disapa angin. Musim gugur sudah hampir tiba, pikir Jungkook.

Jungkook tidak suka dingin sehingga ia bergegas mempercepat langkah kakinya, tangannya menekan tombol di samping ponsel untuk mengetahui kenyataan jika Jimin tidak menjawab pesannya dari pagi. Jungkook kesal tentu saja, tetapi lebih dari separuh hatinya mengkhawatirkan pria yang lebih tua darinya. Dalam hati Jungkook bersumpah akan menghajar Jimin jika nanti kabar yang didapatnya adalah kabar yang tidak baik.

Jungkook sibuk menatap layar ponselnya, mengamati setiap akun media sosial yang ia punya dan tentunya tidak ada notification dari Jimin. Ia menekan dial number 2 untuk kontak Jimin. Ketika dering itu mencapai hitungan kedua, Jungkook menatap lurus ke depan.

Kemudian tiba-tiba langkah Jungkook terhenti.

Ada dua pandangan yang bertubrukan. Ada getaran rindu yang kuat meruntuhkan gengsi.

20 meter di depan sana ia melihat sosok yang dikenalinya dengan baik sejak mereka masih sama-sama menggunakan diapers. Menyandarkan sisi tubuhnya pada tembok gerbang, mengenakan jaket yang berwarana biru muda lembut, dengan kaus bergaris, juga jeans robek-robek favoritnya, rambutnya berwarna merah muda seperti permen kapas dan masih dengan senyum yang sama.

Jungkook berlari kecil dan ia hampir saja menangis saking bahagianya saat sosok itu terseyum dan merentangkan tangannya.

Jimin.

Itu benar-benar Jimin.

Maka Jungkook berlari secepat yang ia bisa sebelum melemparkan tubuhnya pada Jimin, membuat Jimin terhuyung dan akhirnya tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Jimin mengerang pelan saat punggungnya menghantam tanah dengan keras sementara kepala bagian belakangnya ditahan menggunakan jemari Jungkook sehingga beruntung kepalanya tidak terbentur dan berdenyut nyeri seperti punggung dan pantatnya.

"Sakit bodoh," Jimin menggeram nyeri tetapi tangannya membalas pelukan Jungkook, "rindu padaku, eh?"

"Diam," Jungkook mendesis di dada Jimin, menghirup napas dalam-dalam sembari menyisir rambut Jimin lamat-lamat, "aku pikir kau sudah mati, seharian ini tidak mengabariku."

Jimin tertawa sengau, "Sengaja." Kemudian sekuat tenaga mendudukkan tubuh mereka berdua."Hei, ayo bangun. Kau membuat mahasiswa lain menatap kita seperti sedang menonton pasangan badut konyol."

Jungkook menurut, perlahan bangkit dan separuh tidak rela melepas pelukannya, "Biar saja," Jungkook mengusap punggung Jimin yang ternoda tanah, "seperti tidak pernah pacaran saja."

Jimin nyaris terbahak tetapi urung ketika melihat seorang pria berlari tergopoh-gopoh ke arah mereka.

"Jimin-ah!"

Jimin menjerit senang sebelum berpelukan dengan pria itu dan meloncat berputar-putar bersamaan. Jungkook hanya tersenyum kecil melihat keidiotan dua orang pria di hadapannya.

Conclusion (JiKook/KookMin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang