#1. Kebahagiaan yang tersakiti

17 0 0
                                    

"Dear diary, gak dirasa hari ini udah hari penamatan sekolah tinggi aku dan sebentar lagi bakalan kuliah, yeayy!. Tau nggak diary, aku bersyukur banget. Alhamdulillah nilai yang aku pertahanin selama 3 tahun ini gak pernah turun sampai aku tamat sekolah. Dan hebatnya lagi, papa sama mama bahagia banget tadi aku lihat. Dan ini kebahagiaan yang sempurna banget. Gak akan terulang lagi. Diary, kamu adalah tempat curhat paling asik yang pernah aku temui. Aku juga bersyukur sama Reny yang ngajarin aku buat selalu cerita ke kamu. Aku juga gak tahu pasti, namun setelah aku curhat ke kamu, rasanya plongg dan nyaman bangettt."

***

Menjadi seorang yang dibanggakan adalah cita-citaku. Karena melihat kebahagiaan seseorang karena dirimu adalah sebuah karunia. Iya, karunia yang membuatmu bisa membahagiakan orang-orang yang kamu kasihi. Detik demi detik aku lalui dengan kasih sayang yang tidak pernah hilang. Sampai aku berpikir ada tidak ya orang sebahagia aku di dunia ini? Papa dan mama yang selalu membuatku seperti layaknya putri raja dan selalu memanjakanku membuatku melupakan bagaimana cara untuk bersedih. Keterlaluan? Tidak. Itu semua karena karunia Tuhan. Tuhan selalu menyusun rencana sebaik mungkin untuk kita.

"yeayyy, lihatkan papa bilang apa kamu pasti jadi juara. Sekarang kamu mau apa? Nanti papa bakalan usahain buat kamu!" tanya papaku ketika kita sudah tiba di depan pintu rumah.

"gak kok, pa. Aku cuma mau bisa masuk ke perguruan tinggi favoritku, aku mau jadi seorang pembisnis yang sukses di uni....." belum selesai aku menjawab, mamaku sudah memotong omonganku.

"kamu masih mau tetap lanjut kuliah ke Jakarta? Tapikan kita gak punya aset rumah dan keluarga disana? Bagaimana kalau kamu ada apa-apa disana? Kita gak bakalan bisa terus ada disisi kamu kalau kamu kuliahnya diluar kota!" Sahut mamaku yang selalu tidak mengizinkanku kuliah diluar. Aku bisa kok jaga diri, aku bisa kok berprilaku layaknya orang dewasa, dan aku gak mau kalau harus tinggal terus sama mama dan papaku karena alasannya mereka selalu overprotective.

"maah, dengerin anak kita dulu. Anak kita kan udah lulus SMA dengan nilai yang memuaskan, jadi apa salahnya? Dia juga kan anak baik, dan papa yakin, Aisyah tidak bakalan ngecewain mama sama papa. Papa percaya kok sama Aisyah, masa mama nggak"

"iya, tapikan itu diluar kota. Mama gak bisa pisah sama Aisyah pa!"

"aduh, mama jangan egois dong! Ini demi Aisyah ma, demi anak kita!"

"papa yang egois! Papa kan yang suka kalau Aisyah sekolah diluar kota dan di universitas paling bagus se-Indonesia biar papa bisa pamer sama teman-teman papa kalau papa punya anak yang bisa kuliah diluar dan punya prestasi yang tinggi!"

"loh, emangnya itu salah?! Gak kan, wong Aisyah itu anak kita"

"tapikan pah, Jakarta itu kota besar. Papa mau kalau Aisyah berubah jadi anak yang nakal? Anak yang dengan pergaulan bebasnya? "

"gak kok ma!"

"kalau papa ngotot buat nyekolahin Aisyah diluar, lebih baik kita pisah aja!!! Aku bosen harus ngalah muluh sama kamu,pa!!" Kata-kata mamaku sontak membekukan diriku seketika. Tadinya aku bahagian karena mereka berdebat demi kebahagiaanku, namun kebahagiaanku seakan luruh seketika hanya dengan lima kata yang keluar dari mulut mamaku.

"mama!" aku berteriak seakan respon itu keluar secara refleks dari mulutku.

"apa ma??! Mama mau pisah? Hanya demi perdebatan ini? Mama yang ada-ada aja dong! Ayo dong,ma kita bicarain baik-baik lagi demi Aisyah"

"iya, ma. Ayo dong! Mah" permintaanku dengan wajah memelas.

"papa selalu begitu! Ngomongin baik-baik tapi ujung-ujungnya selalu kamu yang diturutin. Keputusan mama udah bulat, mama mau kita pisah dan nanti mama yang temani Aisyah di Jakarta"

"apa ma?! " kata-kata yang barusan mamaku lontarkan membuat kami semua bingung, mau mama apaan? Dia mau aku lanjut kuliah di Jakarta tapi mau pisah sama papa.

"apa ma!!! Papa berarti sendiri dong disini, kerja kontrak papa kan masih 10 tahun lagi dan mama kan tahu kita gak punya aset apa-apa di Jakarta." bentak papaku yang sudah naik darah.

"pokoknya mama mau nemenin Aisyah, kalau papa gak suka, ceraikan saja mama"

"ya Allah, maaah kok ngomongnya gitu sihh" melasanku sambil menodongkan wajah tak bergairah lagi melanjutkan kuliah.

"udah, besok kita kemas pakaian kita, Aisyah! Nanti mama yang pesan tiket kereta untuk kita berdua dan papa silahkan urus perceraian kita, kalau papa gak mau, nanti mama yang urus!!"

"maahhhh, kok gitu sihhhh maahhh jangan gitu dong, Aisyah udah gak semangat kuliah kalau kalian pisah maaa" Suaraku mulai serak karena tangis yang sedari tadi aku tahan.

"sudah-sudah, kamu jangan nangis. Papa kamu selalu maunya sendiri. Sekarang kan kamu udah lulus, udah mau kuliahh" bujuk mamaku berusaha menenangkanku.

Aku diboyong oleh mamaku menuju kamarku yang berada di lantai dua dan membaringkanku kekasur untuk aku menenangkan pikiran.

"maa! Itu gak benarkan? " aku bertanya ke mamaku berharap kepastian jawabannya seperti yang ada dibenakku saat ini.

"udah, kamu tidur siang dulu, kamh capek kan habis dari sekolah tadi. Mama keluar dulu yah" sahut mamaku dengan suara yang begitu lembut menenangkan.

Aku terbaring dengan perasaan bercampuk aduk. Aku tak bisa tidur walau hanya memejamkan mata, aku takut membayangkan hal yang terjadi barusan. Aku mengambil diaryku, dan aku ceritakan semuanya"

"Dear diary...

Perasaan memang terkadang tak pernah menentu, kebahagiaan pun terkadang suram. Hanya sang pemilik hati ini yang dapat membangkitkan bahagia yang hakiki, kebahagiaan yang tak seperti ku alami
..."

***

Bagi kalian yang suka sama cerita aku, dan ingin aku lanjutin, kalian bisa komen kalau kalian suka supaya aku semangat lanjutinnya.

Thanks for reading, my buddies^^

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 18, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UnpredictableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang