11. Mistletoe

13.3K 1.1K 117
                                    

*chapter ini agak panjang, mengganti kemarin aku gak update*

*enjoy the story*

●○●

RAFI POV

Lagi-lagi hal yang langka terjadi di apartment gue. Yaak, cewe masak.

Gue biasa makan di luar, biasa bawa cewe ke sini cuma bual have sex doang, lha sekarang apa??

Gue duduk di kursi bar sambil liatin si Lucy masak. Gue baru ngeh kalo kulkas gue jadi banyak isi sayuran. Gile, biasa cuma isi air putih sama bir. Lha sekarang isi sayuran, udah kaya bapak rumah tangga gue.

Herannya adalah, dari mana gue punya panci, wajan dan lain-lain, seinget gue, gue gapernah beli, tiba-tiba aja ada gitu, entah lah aneh. Mungkin gue pernah beli perkakas masak pas lagi mabuk, mangkanya gak inget.

"Raf, besok pagi gue mau urus apartment. Lo gausah anter deh, gue pake uber aja." Kata Lucy. Gue mengangguk, entah dia liat apa engga.

Iya gue besok pagi mau pulang aja, kangen sama Mama. Gue dari jumat malem kaga balik. Takut mama sangka gue marah, abis isi chat-nya gitu semua, bilang gue jan kaya anak kecil lah, bilang gue kudu bersikap dan berfikir dewasa lah, disuruh belajar sama Firi biar waras dikit. Gue kadang gasuka saat mama membanding-bandingkan gue dengan Kak Firi.

Basic kita aja beda. Jadi gabakal sama.
Firi itu putih, gue itu hitam, kita gak akan sewarna. Firi itu air, gue itu api, kita gak akan senyawa, Firi itu Barat, gue itu Timur, kita gak akan pernah searah. Anjir ya gue, lirik lagu 4.20 pisan!!

Tapi, gue emang hitam. Dan itu yang gue tentukan untuk diri gue sendiri. Gue memilih untuk seperti ini. Bisa aja gue mendadak jadi ustat, biksu, pendeta atau apalah. Tapi itu bukan gue.

Gue lebih suka orang lain menilai gue buruk, dan saat mereka kenal gue, mereka akan tahu gue baik. Daripada gue sok baik, eh entar mereka kecewa gegara gue ternyata anak yang sama sekali jauh dari kata baik. Gitulah pokoknya.

Gue itu hitam di luar, putih di dalam, emas di kantong!

"Makan Raf!" Gue tersadar saat mendengar seruan Lucy.

"Lo masak apa?" Tanya gue.

"Steak." Jawabnya.

Gue mengangguk dan menuju ruang makan. Udah ada dua porsi steak, lengkap dengan sayuran dan potato wedges. Good, gue lebih suka potato wedges daripada mashed potato.

"Lo belajar masak dari mana?" Tanya gue sambil duduk di kursi.

"Kakak gue chef, jadi suka diajarin gitu waktu gue masih kuliah. Yang gampang-gampang doang tapi." Jawabnya, gue mengangguk.

Gue potong steak gue dan menyuapnya. Enak! Anjir! Tingkat kematangannya pas. Dalemnya masih agak merah-merah juicey gitu. Favorit gue!

"Kakak lo chef di mana?" Tanya gue.

"Tadinya di jakarta, Skulblaka sama Seven Sheaves, pindah ke Bali kerja di Syltha bentar terus buka sendiri deh resto." Jelasnya.

Gue berfikir sejenak. Kok kayanya kenal yaa itu siapa. Skulblaka sama Seven Sheaves?? Patrick? Ah tapi Patrick gapernah pindah ke Bali. Duh siapa ya itu temennya Patrick??

"Kakak lo Chef Jacob Marvollo?" Tanya gue saat mengingat namanya.

"Kok lo tau?" Tanyanya. Gue diem, duh bohong apa lagi gue?

"Gue pernah kerja di Skukblaka hehehe, lagian dia kan terkenal!" Lama-lama gue mancung nih kek pinokio.

Eh tapi kan gue udah mancung, hahaha!

BAD ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang