Chapter four (maaf)

138 11 0
                                    

Rosella POV

Tanpa sadar aku melangkah mendekati pertarungan mereka dan berhenti tepat ditengah-tengah mereka ketika akan mengeluarkan sihir andalan mereka. Entah karna aku beruntung atau memang karna refleks mereka yang baik, mereka berhasil menghentikan sihir mereka sebelum mengenaiku. Jantungku berdebar kencang tapi aku menutupinya dengan wajah datarku. Setelah kuanggap suaraku tak akan bergetar aku mengatakan satu kata yang mengungkapkan kekecewaanku kepada mereka berdua.
"Child."

Dapat kurasakan ketegangan yang telah kuperbuat. Tak seorang pun berani mengeluarkan suara. Kulirik Aidan dan Atha secara bergantian, dapat kurasakan mereka tengah berusaha meredam kekuatan mereka yang hampir memuncak tadi.

Setelah cukup lama terdiam, akhirnya Atha memecahkan keheningan tersebut. "Maaf," hanya satu kata, tapi membuat semua orang tertegun. Sebuah kata yang tidak mungkin dikatakan oleh seorang leader penerus dari klan hitam.

Aku menghembuskan napasku cukup keras dan membalikan badan berhadapan dengan Atha. Kuelus pipinya yang lebam entah berapa pukulan telah ia terima. "Ayo kita obati dulu lukamu," ku tarik tangannya agar ia mau mengikutiku. Akan tetapi baru satu langkah aku berjalan ada sebuah tangan kokoh yang menahan lenganku.

"Apa yang kau lakukan! Aku ini matemu bukan dia!" Bentak Aidan menahan emosinya.

"Bukan urusanmu," ucapku sedingin es. Kuhempaskan tangannya yang menahanku dan menarik tangan Atha menjauh dari lapangan.

End Rosella POV
*****
Nathanial POV

Kuperhatikan Silla yang kini sibuk mengobati lukaku. Walaupun Silla terlihat serius mengobati lukaku, aku tahu dia sedang menahan marahnya. Aku diam seribu bahasa. Tak terasa sudah semua lukaku diobati, tak ada bekas sedikitpun yang menandakan aku baru saja bertarung kecuali bajuku ini.

Lama kami saling terdiam hingga Silla sendiri yang menyudahi keheningan ini. "Aku tak suka," ia mengatakannya dengan air mata yang turun dipipinya.

Aku mengangkat tanganku dan mulai mengusap air matanya. Hatiku seperti tertusuk ribuan panah melihatnya menangis. "Dasar bodoh! Lihatlah kau membuat Silla menangis!" Geram Brave didalam diriku. Aku memang bodoh. Aku bersumpah untuk menjaga dan membahagiakan Sillaku. Tapi lihatlah ini, didepan mataku sendiri Silla menangis karna ulahku. "Maaf, maaf," kata itu terus kulafalkan ditelinganya. Kupeluk Silla dengan erat, membuatnya menangis diam dalam dadaku. Tak terasa Silla terus menangis sampai ia kelelahan dan tertidur dipelukanku.

Kuangkat Silla dengan bridal style. Aku keluar dari ruang kesehatan dan bermaksud mengantar Silla ke kamarnya. Ditengah perjalanan aku bertemu kembali dengan Aidan. Dapat kulihat sorot matanya terbakar api cemburu. Sama sepertiku lukanya juga telah pulih tanpa bekas. Aku tetap memasang muka datar dan dinginku. Kulangkahkan kakiku dengan keangkuhan melewatinya yang menatapku dengan tajam.

Sekarang aku telah membaringkan Silla dikamarnya. Nuansa putih menyambutku ketika aku masuk kekamarnya. "Aku benci putih," ucap Brave berkomentar.
"Diamlah, ini bukan saatnya mengomentari kamar Silla," dengusku.
"Hei Silla juga tak suka putih dia lebih suka.." kuputus mindlinkku dengan Brave dan berfokus pada Silla yang kini terlelap dihadapanku. Matanya terlihat sangat sembab. Tak terasa air mataku jatuh begitu saja. " Maafkan aku Silla, aku desilla yang buruk,"

End Nathanial POV.
***
Aidan POV

Aku terus memukuli tembok didepanku dengan brutal. Tak kupedulikan tanganku yang mulai mengeluarkan darah. Rasa sakit ini tak sebanding dengan apa yang hatiku rasakan. Ada apa dengan takdir. Dia mateku, miliku.

"Astaga, Kakak!" Teriak seorang gadis terkejut begitu memasuki kamar kakaknya itu. Terlihat sekali ruangan yang sangat berantakan dan yang paling parah adalah tembok dihadapanku yang telah retak.

My adventure in academyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang