Ayam berkokok membangunkan sang fajar di ufuk timur, merusak mimpi seorang gadis yang tertidur di malam hari. Perlahan aku membuka mataku, berharap yang tampak adalah sebuah pemandangan yang biasa kulihat di kamar tidurku. Namun sekarang yang kulihat hanyalah sebuah lampu minyak yang membisu di atap rumah rumah. Perlahan aku menarik tubuhku yang lelah ini dari kekuatan sang mimpi. Menyadarkanku bahwa hari ini sama seperti kemarin, di Majapahit.Suara sapu lidi yang bersorak-sorak mengundangku untuk membuka pintu kayu yang kecil ini, tampak mbok Darmi yang sedang menyapu halaman rumah dengan sapu lidinya, dan Wulan si gadis kecil yang imut sedang asyik mengayunkan tongkatnya memainkan gamelan mini.
"Nak Sarah,"
Senyuman di pagi hari dari mbok Darmi memberikan secuil semangat untukku, untuk mengawali hari yang cerah ini. Aku membalas dengan senyuman sapaan tetangga yang selalu peduli dengan sekitarnya. Aku pun menuju sumur jobong yang terletak di sebelah rumahku untuk mandi. Namun air yang dingin menusuk pori-pori kulitku, sehingga membuatku enggan untuk menyentuhnya. Beruntung aku membawa ganti baju, feeling ibu memang benar. Jika bukan karna ibu, aku tidak akan membawa baju ganti, dan seterusnya aku memakai seragam yang warnya mulai pudar karena perjalanan yang Tidak terduga ini.
Suara langkah kaki ki Waluyo perlahan mendekati rumahku, sepertinya beliau akan menjemputku dan mengantarkanku mencari pekerjaan. Hidup mandiriku dimulai dari sini, dimana semuanya dimulai dari nol, aku harus melakukan apapun yang aku bisa untuk bertahan hidup di kota kuno. Sampai saat ibu tiba, saat musim panas, saat matahari tepat berada di atas gapura Wringin Lawang
"Mari kita berangkat." Suara ki Waluyo menggerakkan kumis-kumis tipisnya, ki Waluyo siap menjalani hari ini. Kami berangkat bersama, jalan kaki sampai dimana langkah kaki ini akan menuntun kita menemukan tempat untuk menyambung hidup.
Kami berjalan melewati rumah –rumah penduduk, saat fajar belum muncul di permukaan, keramaian sudah tampak di setiap ujung jalan. Kanal-kanal mengantarkan sampan berlau lalang berjalan di atas air, mengantarkan beberapa gerabah tanah liat berisi bahan makanan untuk dijual di pasar, langkah kami terhenti di suatu perahu kecil yang berlabuh di pinggir kanal.
"Kita akan menaiki ini." Tanganya menunjuk pada perahu yang berisi dua orang di dalamnya. Kami pun menaiki perahu untuk menuju sawah di pinggir kota.
"Orang Majapahit sangat menjunjung tinggi warganya" Kata ki Waluyo yang duduk di sebelahku.
"Ouw..." sangat berbeda dengan masa sekarang ini, pikirku.
"Tidak seperti pendatang, Pekerjaan kami hanya sebagai pelayan dan buruh, Tidak lebih dari itu. Selain itu juga, kamu jangan dekat-dekat dengan tuan putri, seorang rendahan seperti kita tidak pantas berteman dengan keluarga kerajaan."
"Dyah orang yang baik ki. Sepertinya Dyah tidak memandang perbedaan diantara kita." Sanggahku kepada ki Waluyo, yang pandanganya beralih kearah lain.
"Terserah kamu, aki hanya memperingatkanmu."
"Iya... trimakasih ki"
"Ya.. Aki sebenarnya berasal dari negri di wilayah Tumasik."
"Apa sang mahapatih sering melakukan ekspedisi ki?"
"Kamu benar, beliau bercita cita menaklukan beberapa wilayah dan menjadikanya satu negri yang mereka sebut sebagai Nusantara. Mahapatih tidak akan berhenti sebelum nusantara tunduk di bawah kaki Majapahit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Travel : Majapahit Empire [TERBIT]
Historical FictionWe are in different time, different world "Sejarah pelajaran yang membosankan!" begitu yang ada di benak Sarah. Seorang gadis yang sangat membenci pelajaran Sejarah. Setiap ada pelajaran Sejarah, Sarah selalu memakai earphone dan duduk di bangku be...