Dyah menuruni kuda dan membantuku. Kami memasuki gapura, para petinggi desa pun juga berbondong-bondong berkumpul di pendopo. Aku dan Dyah duduk diantara para hadirin di barisan depan. Hayam Wuruk hadir di dalam pendopo disertai dengan sang mahapatih, yang berjalan mengikuti setiap langkah sang raja. Semuanya menunduk, termasuk aku. Kini aku sudah terbiasa dengan kebiasaan di Majapahit, aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Meniggikan rasa ego-ku seolah masa depan adalah lebih baik dari masa lalu.
"Para rakyran, demang, lurah serta perwakilan dari rakyatku sudah berkumpul di dalam pendopo yang agung ini. Permasalahan negara terulang kembali setiap tahunya. Dan kita masih belum bisa menemukan solusi dari hama tikus yang merajalela di ladang-ladang rakyatku. Katakanlah, jika kalian mempunyai sebuah solusi untuk membasmi para hama. Melalui musyawarah ini, aku harap kita semua kan mendapatkan suatu mufakat yang bisa melahirkan suatu solusi untuk satu tujuan, kesejahteraan rakyat."
Suaranya menggema diantara tiang-tiang kayu yang menjunjung tinggi menyangga langit-langit. Semilir angin memasuki ruangan terhenti dengan gema suara raja yang bijak.
"Baginda raja, selama ini kita menggunakan air dari pemandian candi Tikus, saya rasa itu sementara bisa menangani masalah hama. Air yang bersumber dari pegunungan para dewa, Mahameru akan melindungi kita." Tunduk salah seorang petinggi desa, seorang pria tua yang menundukkan kepalanya, mamakai gelang perak di lengan kirinya.
Para hadirin yang lain mengangkat tanganya
"Mohon ampun baginda raja, kami juga membutuhkan waktu untung mengangkut gerabah-gerabah air di pemandian, selain itu air-air pemandian yang digunakan untuk menangkal hama hanya bersifat sementara. Karena air tersebut perlahan meresap di dalam tanah. Dan sebagian kecil yang menyatu dalam genangan air sawah."
Sangkal dari pemilik sawah, sepertinya. Memang benar apa yang beliau katakan, akan menyusahkan warga jika harus mengangkut puluhan gerabah berisi air pemandian untuk disiramkan ke sawah yang luasanya ratusan meter persegi.
"Sepertinya belum ada jalan keluar dari permasalahan ini. kali ini ada sebuah pendapat dari seorang warga baru kita, teman teman dari putri Dyah Nertaja, Sarah." Hayam Wuruk menunjukkan tanganya ke arahku. Para hadirin melihatku, tanpa terkecuali.
Dyah yang sedari tadi menggenggam tanganku, berbisik manis di telingaku,
"Aku akan mendukungmu Sarah, semangat.." Secercah semangat yang Dyah tiupkan dibalik gendang telinga itu menjadi sebuah pembakar asa di dalam diriku. Aku ber positive thinking atas pendapatku yang akan kuajukan. Aku berdiri di antara para hadirin yang menatapku.
"Baginda raja, kita bisa memanfaatkan rantai makanan dalam kejadian ini."
"Rantai makanan? Apa maksudmu Sarah ?" tanya baginda raja
" Rantai makanan adalah peristiwa makan dan dimkan oleh makhluk hidup yang ada di suatu wilayah, baginda raja. Jika disuatu wilayah persawahan seperti ini, sebuah padi yang dimakan oleh tikus, maka kita harus mencari hewan pemangsa tikus, yang Tidak lain adalah burung hantu baginda raja. Burung hantu merupakan hewan malam, bekerja di saat kita tidur, dan tidur di saat kita bangun. Jadi kita tidak perlu mengawasi kerja hewan tersebut. Kita hanya menunggu dan melihat hasilnya."
Para hadirin yang tadinya membisu kini menggumam, bergema di seantero pendopo agung ini. Sang mahapatih Gajah Mada, menaruh curiga kepadaku. Hayam Wuruk mengangkat telapak tangannya dan menghentikan lautan suara yang mulai memenuhi ruangan.
"Selama bertahun-tahun, aku belum pernah menemui ide yang bagus ini Sarah. lalu, bagaimanakah cara kita menangkap burung hantu?"
"Mudah sekali paduka, kita bisa berburu pada siang hari di saat mereka tertidur. Atau jika pada malam hari, kita bisa menggunakan perangkap dengan tikus."
Para hadirin yang berada di Pendopo Agung mengangguk-angguk, ada sebagian juga yang bertepuk tangan kepadaku, karena mereka pikir ideku adalah salah satu ide yang brilian. Namun ada 2 orang yang sepertinya tidak setuju. Yakni mahapatih Gajah Mada dan senopati Manggala.
"Ampun paduka raja, burung hantu yang berada di hutan selama ini adalah para peliharaan dari dukun dan perwujudan para lelembut dan dedemit. Hamba khawatir jikalau para warga kita yang sedang berburu di hutan akan terkena serangan roh jahat." Sang mahapatih kini sedang berdiri, mengemukakan pendapatnya.
Para hadirin tenang kembali, pendapat mereka pun juga mulai goyah oleh ucapan sang mahapatih. Mahapatih menunduk hormat, sekilas melirikku dan tersenyum sinis, lalu duduk di tempatnya.
Dyah yang duduk di sebelahku kini juga mengangkat tangan, membelaku dengan argumenya,
"Baginda raja, kita bisa mendapatkan restu kepada para resi dan brahma. Aku yakin Sang Hyang Widi akan selalu menyertai kita semua jika kita berada di dalam jalan kebenaran."
Sontak Hayam Wuruk tersenyum bangga kepada adik satu-satunya itu, diiringi oleh tepuk tangan yang meriah dari para hadirin.
"Sepertinya kita semua mendapatkan mufakat dari musyawarah ini. Apa salahnya kita mencoba. Kesejahteraan rakyat adalah hal yang utama bagiku. Perburuan burung hantu akan dimulai hari ini, dan malam ini juga akan di lepas di daerah sawah warga. Jikalau ini berhasil, aku akan mengadakan pesta rakyat dan pagelaran seni."
"Trimakasih Dyah..." Bisikku lembut, Dyah mengangguk dan tersenyum, rona wajahnya masih cantik seperti biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Travel : Majapahit Empire [TERBIT]
Ficción históricaWe are in different time, different world "Sejarah pelajaran yang membosankan!" begitu yang ada di benak Sarah. Seorang gadis yang sangat membenci pelajaran Sejarah. Setiap ada pelajaran Sejarah, Sarah selalu memakai earphone dan duduk di bangku be...