Menumbuk Padi

22.6K 1.9K 12
                                    

"Sumpah palapa ki?" Tanyaku kepada pria tua yang mengayunkan tanganya kedalam air kanal yang bening

"rupanya kamu juga tahu tentang sumpah palapa?" dalam sekejap ki waluyo langsung mengangkat tanganya yang sedang asyik bermain air, kepalanya muncul berbagai pertanyaan tentang diriku yang tahu kan sumpah yang terkenal sepanjang sejarah.

"eng,,, aku baru tahu obrolan ibu-ibu pasar sejak pertama kali datang kesini ki.. hehe" 

duh, keceplosan lagi deh.. tp untungnya jawabanku bisa meyakinkan ki waluyo yang langsung curiga terhadapku.

perahu menghentikan perjalananya di sebuah sawah yang terhampar luas di bawah langit. satau persatu penumpang meninggalkan perahu dan meberikan dua kepingan perak kepada sang pengemudi. begitulah ki waluyo, beliau memberikan 4 keping perak kepada si pengemudi.

"kita sudah sampai.." ki waluyo merentangkan tanganya ke arahku sembari membantuku memijak tanah.

"aki bekerja di sawah ini ki?" tanyaku, kami berjalan bersama di sawah.

"iya, sebagai petani. aki menanam padi. sedangkan untuk kamu, aki akan carikan pekerjaan sebagai penumbuk padi bersama ibu-ibu"

"baik ki.." aku mengangguk.

tak jauh dari langkah kami, terdapat panggung berbentuk kurva yang terbuat dari anyaman bambu dan kayu. kami menuju gerombolan wanita yang sedang berkumpul untuk satu persatu mengambil gabah dari tempat yang disebut mereka lumbung padi.

"pagi aki waluyo.." sapa seorang wanita yang berumur sekitar 26 tahun, badannya sedikit membukkuk, menunjukkan sikap sopan kepada pria yang lebih tua darinya.

"pagi, sunarsih.. kenalkan, ini penduduk baru yang bernama Sarah. dia sedang mencari pekerjaan. mungkin kalian membutuhkanya" tanganya memperkenalkanku, dengan reflek akupun juga menunduk kepada mbak sunarsih tersenyum ramah kepadaku.

"kebetulan aki, saya sedang membutuhkan penumbuk padi. mari sarah, ikut saya. saya akan menunjukkan caranya" tanganya lantas mengajakku berkumpul ke gerombolan wanita yang daritadi melihat kami, lebih tepatnya melihat pakaianku.

"trimakasih nak sunarsih, sarah.. aki tinggal dulu ya" Aki waluyo melambaikan tanganya sejenak, lalu berbalik badan pergi meninggalkanku.

"Sarah.. Apa kamu pernah menumbuk padi sebelumnya?" tanya seorang ibu-ibu disamping sunarsih, pandanganya tak luput memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"belum bu.." aku menyeringai sedikit, memperlihatkan wajah kepolosan.

"bawa ini,,, ini namanya alu, untuk menumbuk padi" ibu itu menyerahkan tongkat tebal sepanjang 2 meter, akupun langsung meraihnya meskipun berat karna belum terbiasa.

"gabah ditumbuk dengan alu, sarah.. sampai kulitnya mengelupas dari beras" Sunarsih langsung mempraktekkan cara menumbuk padi bersama dengan 2 orang lain disampingku.

tak butuh waktu lama untukku untuk memahami caranya, langsung akupun memulai caranya, untuk pertama kalinya aku baru mengetahui betapa susahnya mengolah padi, dan tidak heran kenapa ibu selalu memarahiku jika aku tidak menghabiskan sesuap nasi.

keringat mengucur deras di kepalaku, hingga tongkat alu menertawaiku karena tanganku tak sanggup seirama denganya menumbuk padi. sunarsih dan yang lainya masih asik bercengkrama dengan alu mereka masing-masing. hingga sang senja mengingatkan kami jika pekerjaan kami akan segera selesai.

"sudah selesai.. lalu sekam dipisahkan dari padi" sunarsih memilah-milah padi yang sudah terpisah dari kulitnya. di kumpulkan dan ditaruh kedalam gentong tanah liat.

"terimakasih mbak, bu atas bantuanya.." akupun menundukkan kepala, lalu berpamitan kepada ibu-ibu yang memberikan alu kepadaku.

"ki waluyo berpesan kepadaku. kamu bisa pulang bersama kami menaiki delman" perempuan lain muncul di hadapanku, kemben yang ia kenakan sepertinya lebih rapi daripada milik sunarsih.

"aku ibu sari, nak sarah.. ini untukmu.."  dia pun memberikanku 4 keping perak. senyumanya menyatu dengan gulungan rambut yang menyerupai pom-pom. ah, jika model rambutnya diguling penuh di atas, sudah ciri khas dari ibu-ibu.

"mari kita pulang sarah" kata sunarsih.

kami bertiga pulang bersama menaiki delman. langkah kaki kuda yang seirama dengan goncangan tubuh kami membuat kami tertawa santai menikmati sang senja. hingga kuda pun brenti tak jauh dari pendopo agung.

"pemukiman mlecha berada di dekat pendopo agung nak sarah" ibu Sari meberitahuku sambil membantuku turun dari delman. mengingatkan bahwa saatnya kami berpencar.

"iya bu.. " aku menunduk. dan kami berpisah menuju pemukiman masing- masing

Time Travel : Majapahit Empire [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang