Lost My Away // Jeon Jungkook

14 7 0
                                    

What Brings Me Joy
You,
Of course.
Always you.

Laki-laki dengan kacamata bulat pepat serta rambut dengan gaya koma menutup novel yang tadi dibacanya dan meletakkannya di atas meja kafe.

Pandangannya beralih pada pria yang duduk di seberangnya yang sejak satu jam yang lalu tak kunjung mengucapkan sepatah kata, tadi katanya ingin bertemu entah oleh apa.

Tatapan pria itu terus tertuju pada kaca di samping meja mereka, menatap jalanan yang basah karena hujan.

Pikirannya tak kunjung lepas dari perempuan yang sedang berbahagia di hari pernikahannya dengan gaun putih bersih yang panjang hingga lantai sampai ia harus mengangkat gaunnya jika harus berjalan.

Senyuman yang tak pernah terlupakan, sejak pertama bertemu hingga malam ini.

"Woi, ngelamun aja!"

Ujar pria di depannya sambil mengibaskan tangan di depan wajahnya.

Sadar ada suara yang ditujukan kepadanya, ia segera mengalihkan pandangannya pada temannya itu.

"Iya, kenapa, Bang?" Tanya Jungkook.

Orang yang dipanggil 'bang' olehnya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum kecil.

"Ngelamun terus, kesambet ntar." Abangnya itu memperingatkan.

Pria itu sebenarnya bukan abang kandungnya.

"Gimana lo sekarang?"

Jungkook terdiam.
Ia tertawa pelan, tetapi terdengar hembusan napas berat.

"Sakit, Bang. Dalam banget, serasa tertohok besi panas. Melepuh, bukan meleleh, seakan nggak ada lagi hati ini."
Jawab Jungkook.

"Gue pikir, dia yang paling mengerti gue, Bang. Gue pikir, tanpa harus gue ucapkan, dia bakal tau sendiri kalau gue sayang banget saman dia. Gimana bisa dia bilang gue udah nggak sayang lagi sama dia di saat gue selalu berusaha buat dia bangga, untuk gue dan dia nantinya."

"Dan akhirnya bukan yang terbaik yang dia butuhkan, tapi yang selalu ada buat dia."
Kata Namjoon membuat Jungkook bungkam.

Pria yang sudah beberapa tahun belakangan ini selalu satu kamar dengan dirinya. Mereka menjadi akrab selama kurang lebih tiga tahun, dan selama itu pula Jungkook tak pernah memberi kabar untuk kekasihnya. Jungkook masih ingat bagaimana tawa bahagianya ketika kekasihnya itu menyalami dirinya yang sudah tak memiliki semangat hidup, seakan ia pasti mati esok.

.

.

"Makasih, ya, Kook."

Ucap gadis itu saat mereka berada di balkon sambil bertumpu pada pagar pembatas.

Tidak, sekarang ia bukan gadis lagi, ia kini seorang wanita yang akan menjadi istri orang lain. Dan yang lebih menyakitkan, Jungkook baru tahu akan hal itu ketika ia baru menjejakkan kakinya di sini. Sungguh ia menyesal dengan kepergiannya yang tanpa kabar akan berdampak sedemikian sakitnya.

"Karena mau datang di pernikahan gue."

Jungkook mengangguk, pelan.

Perempuan itu mengalihkan pandangannya ke pleton ombak yang silih berganti menerjang pantai hingga menyisakan jejak ombak. Seakan mereka berbaris datang untuk turut merayakan hari bahagia perempuan itu.

Ia menghembuskan napas perlahan setelah menarik napas dalam-dalam. Ada banyak hal yang ingin diungkapkan perempuan itu kepada pria yang ada di sebelahnya, karena ia tahu setelah malam ini berakhir itu artinya ia harus melupakan apa yang pernah ia rasakan terhadap pria itu.

Jungkook masih belum bisa mengalihkan pandangannya dari sosok mantan pacarnya yang kini berbalut gaun putih. Terlihat berbeda seratus delapan puluh derajat dari perempuan yang ia kenal, tak kenal make up ataupun berlagak layaknya perempuan sungguhan. Perempuan itu sungguh cantik malam ini.

"Lo tuh kemana, sih, Kook? Lo tuh nggak jelas. Hingga pada akhirnya, gue kira lo emang udah nggak ada perasaan apa-apa lagi sama gue. Selama ini gue bertahan dengan semua angan-angan yang gue ciptakan. Gue nggak tau apa angan-angan itu sebuah kebenaran atau sebuah kebohongan yang gue ciptakan untuk melindungi rasa sayang gue ke lo, Kook. Gue udah hampir hilang harapan tentang keberadaan lo. Kadang gue juga mikir, apa lo sebenarnya kangen juga ke gue kayak gue kangen sama lo?" keluhnya. Perempuan itu terkekeh pelan.

"Dan nyatanya enggak, ya kan?"

Perempuan itu menatap Jungkook sedih.

"Kalau lo pernah, kita nggak bakal kayak gini. Terpisah di antara jarak yang nggak bisa kita lihat."

Jungkook yang sedari tadi diam angkat bicara, menatap mantannya.

"Gue pindah karena gue langsung dapat kerjaan di sana, gue mau buat lo bahagia. Gue mau ngumpulin uang untuk kita. Dan terakhir gue, juga kangen lo, Lys."
Bantah Jungkook.

Perempuan itu, ia yang bernama Allyska Kim menghadap ke arah Jungkook.

"Buat apa uang banyak kalau lo aja nggak pernah ngasih kepastian apa-apa? Suka-duka lo di sana, lo simpen sendiri. Lo tau gue di sini, dengan perasaan yang menggebu-gebu untuk kerja sedangkan gue? Gue di sini sendirian, kesepian tanpa lo. Gue.. gue nunggu lo tanpa kepastian yang jelas."
Balas perempuan itu.

"Dan lo mau tau kenapa gue lebih milih Jimin dan ngelepasin lo?"

Jungkook bungkam.

Ia tahu jawaban yang akan diberikan Allyska hanya akan membuatnya semakin menyesal. Menyesal akan kepergiannya.

"Karena dia membuat gue sadar kalau nggak seharusnya gue nunggu sesuatu yang nggak pasti, entah itu bakal buat gue bahagia atau justru menyakitkan. Jimin selalu ada buat gue ketika gue butuh seseorang untuk berbagi. Gue emang nggak nuntut lo untuk bilang sayang ke gue, gue cuma butuh kepastian dari lo. Dan kepastian itu bakal jadi pedoman gue untuk selalu meyakinkan diri gue kalo lo emang bener sayang sama gue."
Allyska mulai menitikkan air mata dan membuka luka terdalamnya.

"Lys,"

"Gue nggak nyesel, kok."
Cepat-cepat Allyska berkata.

Jungkook langsung menarik Allyska dalam dekapannya. Malam ini benar-benar akan menjadi malam terakhirnya bisa memeluk Allyska seperti itu. Tangis Allyska pecah di kemeja baby blue yang Jungkook kenakan. Dekapannya begitu kuat seakan itu adalah semua yang ingin ia katakan pada Allyska. Demi apapun, Jungkook tidak rela membiarkan Allyska jatuh ke dalam pelukan lelaki lain. Jungkook selalu ingin Allyska bersamanya.
Jungkook sungguh mencintainya.

Keadaan membuat Jungkook enggan untuk sekedar mengatakan bahwa ia sangat mencintai Allyska dan terlalu terlambat untuk mempertahankan Allyska untuk berada di sisinya.

"Lys, setelah ini jangan ada kesedihan lagi. Semoga lo berbahagia dengan Jimin hingga maut memisahkan. Tolong, berbahagia lah."

Jungkook mengelus puncak kepala Allyska sedangkan perempuan itu semakin terisak dalam pelukannya. Jungkook mendekatkan kepala Allyska dengan dagunya dan mengalihkan pandangannya ke arah lain untuk air matanya yang sudah tak dapat ia bendung lagi.

Ketika seorang pria menangis, kita dapat mengartikan tangisan itu tulus seperti halnya Jungkook yang menangis untuk Allyska. Ia tulus mencintai perempuan itu, tetapi apa daya takdir berkata lain.

.

"Gue pikir, gue bakal berakhir kayak abang gue, ternyata hm.."

Kata Jungkook sambil tersenyum getir. Menahan rasa sakitnya yang sulit untuk dijelaskan.

"Lo nggak bisa berasumsi kayak gitu karena setiap orang adalah kertas polos yang dimana takdir selalu tercetak jelas di sana tanpa bisa diganti. Entah itu duka maupun suka."

[END]

ONESHOT Fanfictions [BTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang