CHAPTER SEVENTEEN

1.3K 36 2
                                    

sweet seventeen :3

enjoy!

-----

"Woi sini lo! Cepetan ah! Jalan kayak princess di red carpet aja!", ekspresi Gita kayak serigala menunggu mangsanya jatuh di titik kegelapan.

"Iya iya! Inii gue udah sampe!", gue berlari kecil ke arah Gita, "Now what?"

"Now what, now what! Lo itu ngerti gak sih perasaan gue Zee?! 'Kakak' lo itu lagi kritis, BAHKAN ada kemungkinan mau koma! Lo gak khawatir apa?!"

"Y... Ya gue khawatir, cuma gue gak.. G..gak bisa ngungkapinnya... Ke..khawatiran gue itu berubah jadi kegugupan Git.."

"Udah ah, gausah bacot.. Sekarang lo kunjungin tu Boston! Dia nyariin lo daritadi"

Sumpah! Gita aneh banget.

Gue sampai di ruang UGD, tapi tidak melihat Boston. Gita membuka tirai dan terlihatlah Boston yang sedang berbaring lemas.

Gue merasa menyesal karena telat.

"Boston? Lo.. Lo kenapa?", gue mendekati Boston.

"Gue gapapa kok, lo...tenang aj..aja", Boston berusaha membalas pertanyaanku.

Zimo bodoh! Ya jelas dia gini, kenapa lo nanya gituan? Argh!

"Boston.. Gue minta maaf ya..", gue mengusap tangan Boston.

"Lo gaada salah.. Gue yang teledor. Hahaha", situasi gini, masih bisa ketawa aja tu anak.

"Permisi, pak Boston harus di opname, jadi pindah ke kamar nomor 377 ya", seorang perempuan bertopi putih mengganggu lamunanku.

"Oh, iya sus", gue membiarkan suster itu memindahkan Boston bersama dengan Gita. Meninggalkan gue sendirian.

-----

"Lo nggak sendiri kan disini? Pasti ada orang lain? Masa cuma Gita sama gue disini?", tanya gue.

"Iya, cuma kalian kok. Gue belum bilang bokap nyokap", jawab Boston.

"Kalo gitu gue telepon yah, Ton?", Gita mengambil telepon selulernya.

"Gak usah deh Git, nanti mereka malah khawatir. Kan bokap nyokap gue lagi kerja"

"Ya tapi kan lo lagi kritis, Ton. Baru juga di perban ini it-"

"Gapapa Git, nanti gue aja yang telepon", Boston menutup matanya.

"Yaudah kalo gitu kami keluar dulu ya, lo mau istirahat kan?", gue mengubah topik pembicaraan. Gita yang terlihat bingung akhirnya menerima kodeku.

Sampai di pintu, kami menemukan dokter yang ingin memasuki kamar 377.

"Ada apa ini, dok?", tanya gue kebingungan.

"Maaf, apakah kalian saudara dari Boston?"

"Emm.. I.. Iya dok", Gita menjawab sambil memberi kode ke arahku.

"Baiklah, ini adalah hasil rontgen beberapa jam yang lalu", dokter itu menyerahkan selembar kertas hitam hasil rontgen, "Kepala Boston mengalami benturan yang keras sehingga ada beberapa tulang yang patah, jadi pihak rumah sakit akan melakukan operasi beberapa hari lagi"

Operasi? Apakah separah itu?

"Dok, emang gabisa pake gips? Atau terapi gitu?", tanya Gita.

"Kami sebenarnya ingin melakukan itu, tapi kesehatan Boston semakin lama semakin lemah. Jadi, kami mengambil tindakan operasi"

"Yasudah dok, kami akan mengabari keluarganya", gue menunduk.

"Bukannya kalian keluarganya?", dokter itu mulai curiga.

"Eerr.. Ya kami saudaranya dok, tapi kami mau bilang ke orangtuanya Boston", sambung Gita dengan cepat. Dokter itu hanya tersenyum dan pamit, "Lo begok banget sih Zee"

"Ya kan gue keceplosan, lo kenapa sih daritadi marah mulu?!"

"Sshh, ini rumah sakit begok. Lo mau kita ditangkap satpam?"

-----

"APA?! Boston kritis?", terdengar perbincangan ibu dan ayah Boston.

"Iya tante, dan... Err.. Tante ke rumah sakit aja dulu"

"Baiklah, makasih ya Zee"

Call ended.

"Git, mau beli buah dulu nggak?", tanya gue sambil minum jus wortel dan salad, yea makanan khas rumah sakit.

"Boleh, tapi disini ada yang jual gak?", tanya Gita sambil mengotak-atik hpnya.

"Ada mungkin, cari aja", gue menaruh uang bill dan menarik tangan Gita.

"Disekitar sini ada peta RS gak?", tanya Gita.

"Itu!", gue menunjuk peta RS yang di gantung di samping tangga, "Toko buah.. Toko buaaaa-ni dia! Belok kanan abis itu lurus bla bla"

"Di foto aja kenapa sih? Gak modern lo pake di inget-inget", Gita memotret peta RS dan menarik tangan gue mengikuti peta.

-----

"Bu, ada paket untuk orang sakit kan?", tanya gue kepada ibu penjual.

"Ada nih, masih segar loh, baru dari freezer. 75 ribu yah", ibu penjual menyodorkan parsel beragam buah.

Gue mengambil uang 50 ribu dan 25 ribu. Menganggukkan kepala dan berterima kasih.

"Kita ke kamar Boston", Gita menarik tangan gue.

"Emang kan?"

-----

Boston masih tidur, tapi sepertinya hanya tidur-tiduran.

"Kalian nelpon mama papa gue?", ucap Boston tanpa membuka mata, dengan suara khas bangun tidur.

"Eerr..", gue berusaha mencari ide,  berharap Boston hanya mengigau.

"Gue gak ngigau ya", Boston membuka matanya perlahan.

"Boston, mending lo tidur dulu, soalnya kan besok lo mau di-AW!", gue menginjak kaki Gita, memberi kode keras.

Pintu kamar dibuka, akhirnya..

"Boston? Kamu kenapa nak?!", ibu Boston memeluk Boston sambil menangis, "Makasih ya Zimo.. Gita.."

"Iya nte..", jawab kami.

"Tante yang sabar ya, Boston pasti sembuh", gue mengelus pundak mama Boston.

-----

OPERA LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang