1. Dia Menikahiku

83.7K 3.5K 56
                                    


Februari 2011

"Saya terima nikah dan Kawinnya Hannah Ayudia Bamantara binti Adi Bamantara dengan mas kawin tersebut tunai."

"Bagaimana saksi? Sah?"

"Sah."

"Pa.. Papa.. Papa! Pa bangun Pa."

Aku tidak tahu lagi apa yang dilakukan orang - orang di sini. Pandanganku telah mengabur, tertutup genangan air mata yang mengalir semakin deras. Jika kalian berpikir sedang terjadi tangis haru di sini, atau suasana kebahagiaan yang menguar, maka tidak.

Hanya keheningan menjelang cekam yang terasa di ruangan ini, sampai sebelum sepuluh menit terakhir tadi. Saat dibacakan kalimat akad. Dan secepat pembacaan kalimat itu, secepat itu pula suasana ruangan ini berubah.

Aku hanya bisa menangis melihat papaku tersenyum sesaat, lalu memejamkan matanya. Masih terlihat senyum terukirnya di sana. Dengan lembut kugoncangkan lengan Papa, "Pa.. Papa bangun. Jangan tinggalin Hannah Pa. Papa! Papa! Papa bangun! Papa bohong sama Hannah! Papa jahat! Papa!"

"Dokter tolong Papa dok! Suruh bangun Papa! Om, tante! Papa Om, suruh Papa bangun Om! Papaaa!"

"Hannah Sayang, kita keluar dulu ya. Biar doter periksa Papa. Kita tunggu di luar ya Sayang."

"Nggak Tante, Hannah mau temenin Papa. Papa nggak boleh pergi. Papa sudah janji sama Hannah. Papa bangun! Hannah nggak mau sendiri!"

"Iya Sayang, Papa kamu pasti bangun, kita keluar dulu ya?"

Tente Anin, yang baru saja menjadi ibu mertuaku, menyeretku keluar tanpa persetujuan dariku. Aku meronta sekuat tenaga, menangis, berteriak, menendang, dan apapun yang bisa aku lakukan. Aku tak perduli jika rontaanku, tendanganku mengenai Tante Anin. Aku tak mau meninggalkan Papa.

"Papa!"

"Elang! Kamu kok diem aja sih? Bantu ibu sini!"

Sesaat kemudian kurasakan tubuhku melayang. Sebuah tangan mencengkram lenganku dengan erat. "Papa!"

"Diam!" Mata tajam itu menatapku tanpa belas kasih. Bibir dan rahangnya mengatup erat. Cenkraman tangannya tak mengendur sedikit pun.

"Papa.." lirihku di antara isak tangis. Tubuhku sudah lemas, dengan pasrah aku membiarkan dia menggendongku. Entah akan di bawa kemana aku ini. "Papaa.."

"Tolong diamlah! Papamu pasti akan bangun."

"Papa.. Hiks.. Papaa.."

"Sst.. Diam, oke?"

"Papa.."

"Iya, diamlah." katanya lebih lembut. Lengan besarnya membawaku ke dalam pelukannya. Menepuk lembut punggungku.

"Papaa." kata terakhir yang aku ucapkan sebelum aku tertidur di dadanya. Di dada seorang pria asing yang baru saja menikahiku. Hampir satu minggu ini aku tidak tidur dengan benar. Mungkin hanya beberapa jam. Mataku tak mau diajak untuk terpejam. Mungkin hari ini adalah batasnya, batas tubuh dan mataku tetap terjaga. Hingga dengan mudahnya aku tidur dalam dekapannya.

.............

"Hannah, bangun nak. Papamu sudah sadar."

Suara lembut itu menyadarkanku. Apalagi saat nama Papa disebut, membuat kesadaranku berangsur kembali. Kepalaku pusing, sangat pusing. Hidungku mampet, bahkan suaraku hampir hilang. Mataku berkeliling melihat sekitar. Tentu saja aku sudah berpindah dari dadanya. Entah berapa lama aku tertidur, dan dimana aku tertidur. Ruang ini seperti ruangan yang lain dari kamar rumah sakit.

Tante Anin menepuk pipiku pelan, "Papa panggil kamu Sayang."

"Papa." aku bangun dengan tergesa, memegang erat tangan Tante Anin. "Papa mana Tante?"

"Papamu ada di kamar sebelah, ayuk."

Aku mengangguk, mengikuti Tante Anin menuntunku bertemu Papa. Di sana, kulihat Dia duduk di samping Papa, mendengarkan entah apa yang dikatakan oleh Papaku.

"Papa."

"Hannah." kata Papa lirih. Tubuhnya semakin kurus, berbagai macam selang terpasang di tubuhnya. Wajahnya juga semakin pucat dari terakhir kali aku melihatnya.

"Kamu.. jangan bersedih ya Sayang." ucap Papa terbata. "Papa akan selalu di sampingmu. Kamu harus.. bahagia nak." Aku menagis lagi mendengar ucapan lemah Papa. Tangannya berusaha menggapai sisi kepalaku, tapi tak sanggup. Bahkan hanya untuk melakukan itu Papa terlalu lemah.

"Yang nurut sama suami. Sekarang bukan Papa lagi yang akan menjaga kamu, tapi Elang." Air mataku semakin deras, aku tak mampu lagi berkata - kata. Tenggorokanku tercekat, pandangan mataku mengabur. Yang bisa kulakukan hanya menggelang lemah, menatap Papa prihatin.

"Tanggung jawab Papa sudah selesai dan pindah ke Elang. Jadi istri yang baik buat Elang ya nak, dosa kamu bukan Papa lagi yang menanggung. Tapi Elang, suamimu."

"Papa.."

"Papa rasa, waktu Papa telah habis. Kamu baik - baik di sini, kamu harus bahagia. Elang yang akan menjagamu."

"Papa enggak. Papa nggak boleh pergi."

"Papa bangga punya gadis kecil sepertimu. Mama pasti juga bangga."

"Udah Pa, jangan bicara lagi. Panggil dokter! Papa harus sembuh panggil dokter! Dokter! Suster!"

"Papa kangen sama Mamamu di sana Nak. Mama sudah panggil Papa. Papa harus menyusul ke sana."

"Papa diam. Enggak. Papa nggak boleh pergi. Papa gak boleh tinggalin Hannah. Hannah sama siapa kalau Papa pergi? Papa harus sembuh. Dokter! Dokter mana?! Dokter! Suster!"

"Selamat tinggal Sayang, Papa juga akan bahagia."

"Papa!" Papa tersenyum meski air mata mengalir di pelipisnya. Genggaman tangannya semakin melemah. Aku semakin kebingungan. "Papa! Panggil dokter! Cepat panggilkan dokter!" teriakku pada siapa saja yang ada di ruangan ini. Tapi mereka semua tak ada yang bergerak.

Sebuah tangan memeluk bahuku dan mengusapnya. "Kamu kuat Sayang." kata Tante Anin memelukku.

"Papa!" aku semakin histeris saat mata Papa terpejam. Tangannya hangatnya tak lagi menggenggamku. "Papa! Tan, panggil dokter Tan! Dokter! Dokter mana! Dokter! Mas, panggil dokter! Jangan diam saja! Dokter!"

"Sayang, kamu harus ikhlas. Papa Mamamu sedih kalau kamu sedih. Ikhlas Hannah."

"Papa, jangan tinggalin Hannah Pa. Papa jahat!" kupeluk dengan erat tubuh lemah Papa. Aku menangis sejadi - jadinya di dada Papa.

"Sayang, sudah. Kamu tidak boleh seperti ini. Ikhlaskan Papamu Nak."

"Nggak Tante, Papa gak boleh pergi! Hannah gak mau sendiri!"

"Ssst.. Kamu tidak sendiri Sayang. Ada Tante sama Om, ada Mas Elang juga. Suami kamu."

"Tapi Hannah gak kenal Mas Elang!"

"Iya. Iya. Setelah ini kamu kenalan ya?" entah sejak kapan aku sudah berpindah memeluk Tante Anin. Tangannya tak henti mengelus punggungku.

"Papa."

"Sudah Sayang, sudah. Jangan menangis lagi, relakan Papamu pergi."

Sekuat tenaga aku meredam tangisku. Dokter dan suster datang. Satu persatu mereka mulai melepas segala alat bantu yang terpasang di tubuh Papa. Dadaku semakin sesak melihatnya. Apa lagi saat seorang suster menutup seluruh tubuh Papa.

Dadaku semakin sasak dan pandanganku mengabur. Kegelapan menjemputku saat itu juga.

............

Hai semua!

Masih inget sama Hannah yang manis kan?

Jadi, ini ceritanya. Semoga kalian suka.

Love love

Sinnad

2209201

My Story - Aku Dan Suamiku (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang