3. Dia Belum Juga Kembali

38.1K 2.5K 47
                                    


Genap dua bulan aku tinggal di rumah Kakak Iparku. Kakak Ipar yang terlalu tua untuk aku panggil Kakak. Baru aku tahu, Usianya sudah 36 tahun. Selisih usia yang cukup untuk menjadikannya seperti ibuku. Belum lagi usia suaminya yang sudah mencapai kepala empat. 41 tahun. Rasanya sangat tidak mungkin aku memanggil mereka dengan sebutan Kakak.

Maka dari itu, mulai minggu lalu aku memaksa untuk memanggil mereka dengan Om dan Tante. Namun sayang ditolak. Mereka malah memintaku untuk memanggilnya Ayah dan Bunda.

Satu hal lagi, sampai saat ini, mereka belum dikaruniai seorang anak. Kak Arunda, atau Bunda terlihat sangat sedih saat menceritakannya. Aku juga turut sedih mendengarnya. Jadi, tanpa diminta dua kali aku menyutujuinya.

Sudah tiga minggu pula aku sekolah di tempat yang baru. Mereka memintaku untuk pindah ke sini, karena lebih dekat. Di sekolahku yang lama terlalu jauh dari rumah Ayah dan Bunda. Kata mereka, aku tidak ada yang menjaga jika tetap sekolah di sana.

Sebenarnya aku malas jika berpindah sekolah. Aku harus menyesuaikan semuanya dari awal. Mulai dari lingkungan, pelajaran, teman dan guru - gurunya. Tapi aku juga sedang malas berpikir atau berdebat, jadi aku menurut saja apa kata mereka.

Mereka memperlakukanku sangat baik. Terutama Ayah, meskipun jarang di rumah tapi beliau sangat senang dengan kehadiranku. Kalau sedang di rumah, maka Ayah sendiri yang akan mengantarkanku sekolah.

Perlakuan mereka berdua sedikit demi sedikit membuatku lupa dengan duka yang sedang aku alami. Aku mulai menjalani hidupku dengan normal kembali. Makan teratur, tidur tepat waktu, belajar, sekolah, dan bersosialisasi. Meskipun teman baruku saat ini masih beberapa dan tidak terlalu dekat.

Selama aku tinggal di sini, tak pernah aku melihat wajahnya. Jangankan melihat, kabarnya saja aku tak pernah dengar. Terkadang aku lupa jika aku telah menikah. Status baruku ini sama sekali tak berasa, tak merubah hidupku sama sekali. Somehow, aku bersyukur akan hal ini.

Ayah maupun Bunda juga tak pernah menyebut namanya lagi. Aku tak tahu apakah dia masih hidup atau sudah tiada. Tapi syukurlah, setidaknya aku tak akan mendengar paksaan atau bentakannya.

Beberapa kali Ayah dan Ibu mertuaku datang menjengukku. Mereka juga seakan bungkam. Tak memberitahuku apa pun. Awalnya aku sedikit bingung. Tapi lama kelamaan aku tak perduli lagi.

Ya sudahlah, aku malah senang dia tidak kembali. Hidupku akan kembali tentram rasanya. Tak ada masalah jika dia pergi selamanya. Ingatan terakhirku tentangnya juga tidak bisa dibilang baik. Dia yang kasar, kejam, juga tidak sopan.

"Hei! Pagi - pagi jangan melamun! Kesambet tau rasa!"

Seorang gadis gembul menepuk bahuku dengan keras. Bukan hanya kaget yang aku dapatkan, tapi juga bonus rasa panas di bahuku. "Sakit tahu! Jangan lupakan kalau tanganmu itu besar. Tulangku bisa saja rontok."

"Ck. Ngelamun apa sih pagi - pagi? Gak ada PR kan ya?"

"Kenapa kalau ada? Mau pinjam?"

"Iya dong! Sama siapa lagi aku pinjam kalau bukan sama kamu."

"Dasar!"

"Jadi, kenapa?"

Gadis gembul ini sekitar 16 tahun yang lalu diberi nama Luna oleh orang tuanya. Bukan Luna Maya, tapi Luna Ahmad. Bukan istrinya Ahmad Dhani, tapi anaknya Pak Ahmad. Entah Ahmad siapa bapaknya itu. Anaknya baik sekali, mudah bergaul tapi cerewetnya minta ampun. Dan dia lebih curious dari si monyet George milik pria bertopi kuning.

"Nggak papa. Hanya menikmati angin."

"Nggak usah sok mellow deh!"

"Siapa yang mellow sih?"

My Story - Aku Dan Suamiku (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang