2. Dia Datang Lalu Pergi

47.9K 2.9K 29
                                    


Seharian ini aku tidak keluar kamar sama sekali. Setelah pemakaman Papa, aku mengurung diri di kamar. Tak menghiraukan siapa pun yang perduli padaku. Aku belum sanggup menghadapi dunia ini tanpa Papa, seorang diri.

Aku hanya bisa menangis, entah sudah berapa lama aku menangis. Air mataku tak pernah mau surut meski sekuat tenaga aku menahannya. Bayangan Papa selalu muncul saat itu juga, saat aku berusaha menghentikan tangisku.

Papa yang selalu tersenyum padaku, Papa yang sabar, Papa yang sangat baik, dan Papa yang selalu menuruti kemauanku. Papa yang telah pergi meninggalkanku di dunia ini selamanya. Lagi, air mataku mengalir semakin deras diiringi isak yang juga tak mau berhenti.

"Papaa.."

"Papaaa.. Hannah sama siapa sekarang? Siapa lagi yang bisa masakin Hannah, siapa yang akan antar Hannah sekolah. Papaa.."

Kudekap foto Papa dalam bingkai. Di sana Papa tersenyum bahagia dengan aku di pangkuannya. Meskipun saat itu aku sudah duduk di bangku SMP.

"Papa jangan pergi Pa.. Hannah sayang sama Papa."

Isak tangisku berhenti sesaat ketika tiba - tiba pintu kamarku dibuka paksa. Menimbulkan suara benturan yang sangat keras. Jantungku pun berhenti berdetak beberapa detik.

Dari pintu itu, muncul seorang pria jangkung dengan tatapan tajamnya. Langkahnya begitu mantab, tegas dan lantang. Kaki panjang itu semakin mendekat ke arahku. "Bangunlah." ucapnya dingin.

Aku hanya diam menatapnya. Tak mengerti apa maksud dari perkataannya itu. "Bangun, dan ikut saya." katanya lagi.

Kali ini tangannya menarik tanganku. Membawaku bangun dan turun dari ranjang. "Nggak mau! Mau kemana?!"

"Diam dan ikuti saya. Sudah cukup kamu mengurung diri di sini."

"Nggak mau! Nggak mau! Papaaaa!"

"Papaa! Hannah nggak mau!"

Teriakan demi teriakan yang aku hasilkan terbuang percuma. Tubuh tinggi itu dengan mudahnya menarik tanganku keluar dari tempat persembunyianku selama ini. Tubuhku terseret - seret memasuki mobil, entah milik siapa. Bahkan pintu mobil pun ditutupnya dengan kejam sebelum ia mengambil alih kemudi.

Rengekan dan teriakanku berhenti kala mata tajam itu menatapku sekali lagi. Tanpa kata dan hanya gerakan mata, membuat aku sekuat tenaga menahan isak tangis. Sesaat kemudian, mobilnya melaju membelah kemacetan kota yang selalu terjadi. Tanpa henti.

Satu jam kemudian, mobilnya memasuki sebuah halaman rumah yang luas. Rumah yang bagus, tapi terlihat sangat sepi. "Turunlah!" katanya bahkan sebelum aku selesai mengamati sekitar.

"Ini di mana?" tanyaku lirih. Takut - takut aku melihatnya. Nada suaranya yang dalam, membuat nyaliku menciut. Aku tak berani menatap matanya. Mata orang asing yang tiga hari lalu sah menjadi suamiku.

Dia turun. Tanpa menoleh dan tak menjawab pertanyaanku. Dua detik kemudian, pintu sebelahku terbuka. Dengan gerakan mata malasnya, ia menyuruhku untuk turun.

Aku menurut. Turun mengikutinya memasuki rumah besar yang serba putih ini. Langkahnya begitu lebar berkat kaki panjangnya itu. Sedang aku terseok mengikuti langkahnya.

Tanpa mengetuk, pintu itu dibukanya. Di dalam sana terlihat seorang wanita yang sangat cantik. Sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi aku lupa. Beberapa hari ini aku tak pernah memperhatikan sekitarku. Tepatnya setelah Papa kritis dan masuk rumah sakit.

Wanita itu tampak terkejut, setelahnya tersenyum hangat saat melihatku. "Elang! Kamu nggak kasih kabar mau datang?" sapanya pada lelaki di sebelahku ini. Namun, yang disapa hanya diam. Dan aku tak berani mendongak menatap ekspresinya.

My Story - Aku Dan Suamiku (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang