Chapter 3: Altschmerz

96 7 0
                                    

Disclaimer:
-Semua tokoh dan setting yang tercantum dalam manga Black Butler adalah milik Yana Toboso.
- Eligor dan Flauros adalah demon yang namanya disebut dalam Lemegeton dan Pseudomonarchia Daemonum.

~~~***~~~***~~~


Ada sebuah pelesiran terkenal di kota. Orang-orang menyebut tempat itu sebagai Taman Eden. Entah sebutan itu adalah ungkapan untuk mengatakan bahwa tempat tersebut dihuni oleh para wanita cantik, yang siap menghibur untuk mengurangi penat setelah seharian sibuk dengan urusan kehidupan, ataukah sekadar sarkasme belaka – apapun itu, maknanya akan berbeda tergantung mata mana yang melihat dan pikiran mana yang menilai.

Tempat itu memang dihuni wanita cantik, dan bukan sembarang penghibur pula. Semua orang di kota tahu tempat mana saja yang jadi taman bermain para bangsawan yang bosan saat malam menjelang. Tempat itu ibarat harem para penguasa di Timur, hanya saja harem kerajaan terkesan jauh lebih bergengsi, tidak peduli semewah apapun pelesiran yang jadi pembandingnya itu.

Bagiku, sebutan indah bagi tempat itu adalah sebuah sarkasme, karena begitulah kesan yang kutangkap. Begitu dangkalnya pemikiran dan imajinasi manusia tentang tempat yang merupakan kebalikan dari Gehenna dalam segala hal, seolah hiburan badaniah itulah yang terpenting dan paling mereka dambakan dalam kehidupan. Sungguh ironis.

Ada seorang teman yang tinggal dalam pelesiran itu – dia seorang pramuria, tentu saja. Dengan segala macam kelebihan para wanita di sana dibandingkan dengan pelesiran lain, Corrina adalah yang paling kusukai. Dia seorang wanita yang cerdas.

Dalam kunjungan kali itu, aku membawakan serta untuknya seekor anak kucing yang kutemukan di sebuah gang. Anak kucing kumal itu seorang diri meraung-raung memanggil pertolongan dari siapapun.

"Jadi apa maksudmu membawa anak kucing itu kemari?" Corrina bertanya, nada menggoda dalam suaranya sudah hilang. Padaku, di sisa waktu kami menghabiskan malam, dia selalu jadi dirinya sendiri, dan bukan seorang penghibur.

"Untuk menemanimu di sini," jawabku sembari memeluknya dengan sebelah tangan selagi Corrina berbaring dan menempelkan pipinya di dadaku.

"Bohong," Corrina tertawa kecil.

"Hanya separuh bohong," sahutku.

"Lantas sisanya?"

"Aku tak bisa membawanya pulang. Itu bukan tempatku. Kalau dia ada bersamamu, mungkin bisa tumbuh dewasa dengan lebih baik."

Corrina bangkit dari ranjang, memungut chemise dan mengenakannya kembali. Setelah pakaian itu menutupi tubuhnya, dia meraih mangkuk berisi anggur yang ada di meja, membawanya ke tempat tidur lagi, dan menikmatinya sambil bersandar di ranjang.

"Kau sudah lama berada di sana. Bagaimana mungkin itu bukan tempatmu?"

Pada wanita ini, aku tidak menutupi apapun, bahkan pentagram di tanganku pun tidak. Dia tahu dengan siapa dirinya sesekali menghabiskan malam, dan bersedia menjaga rahasia itu. Selain karena cerdas, barangkali kehidupan yang keras telah membuatnya memiliki cara berpikir berbeda dari kebanyakan orang, Corrina memiliki kemampuan sangat baik untuk memahami orang lain – siapapun orang itu – dengan hati lapang dan pikiran terbuka.

"Sudah hampir lima belas tahun kau berada di tempat ini. Itu cukup lama untuk ukuran waktu manusia. Apa kau pernah merasa kalau di sini adalah rumahmu?" aku balik bertanya.

Corrina mengedikkan bahu. "Tidak," jawabnya, merenung, dan memainkan sebutir anggur dengan jemarinya yang lentik. "Jadi apa kau berencana pulang kembali ke tempat asalmu? Bukankah orang yang mempekerjakanmu sudah tidak ada."

Alter: Wondering MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang