Once Upon an Altered World: A Prologue

285 19 17
                                    

Disclaimer: Semua tokoh dan setting yang tercantum dalam manga Black Butler adalah milik Yana Toboso. 


~~~***~~~***~~~ 

I can't go back to yesterday, because I was a different person then.

(Alice in Wonderland - Lewis Carroll)


~~~***~~~***~~~




Musim gugur menjelang. Dedaunan hijau mengganti rona mereka dengan warna keemasan yang hangat. Kesan kehangatan yang hanya sebuah ilusi, kontras dengan dinginnya hembusan angin yang menyapu halaman dan taman-taman yang mengelilingi sebuah bangunan besar.

Di antara pepohonan, seorang pria dengan pakaian bernoda lumpur lewat sambil membawa sekop. Keramahan yang tampak di wajahnya dibentuk oleh garis tawa dan kerutan di sekitar mata, menunjukkan kalau dia sering tersenyum. Pria itu menoleh dan mengangguk sopan ke arahku, menyapa. Aku mengangguk singkat, membalas sapaannya, sebelum pria itu berlalu untuk menyelesaikan pekerjaannya mengurus kebun.

Aku tidak menghitung tepatnya berapa ratus musim telah berlalu sejak pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini. Zaman dan pergantian kekuasaan telah banyak mengubahnya.

Katterburg, begitulah dulu orang-orang menyebut perkebunan ini. Perkebunan anggur dan peternakan di lahan ini telah musnah. Rumah besar di lahan itu pun sudah banyak sekali berubah. Lahan perkebunan anggur itu telah menjadi kebun-kebun indah, taman bunga anggrek, dan lahan perburuan burung pegar.

Masa yang silih berganti, peperangan, dan pergantian pemilik, telah mengubah rumah besar di perkebunan itu menjadi lebih besar lagi. Apa yang pernah hancur oleh serangan pasukan Hungaria pada tahun 1605, dibangun kembali dengan lebih indah sebagai kediaman keluarga kerajaan. Saat tempat ini porak poranda oleh kepungan pasukan Ottoman tahun 1683, semua perlahan dipulihkan kembali.

Katterburg yang kukenal dulu sudah tiada. Perkebunan anggurnya telah berubah menjadi sebuah château de plaisance, sebuah kediaman keluarga kerajaan yang megah dengan kebun-kebun indahnya. Katterburg bukan lagi namanya. Kaisarina Eleonora von Gonzaga, istri dari Kaisar Ferdinand II, mengubah namanya menjadi Schönbrunn, yang terinspirasi dari penemuan Kaisar Matthias pada sebuah mata air dalam kompleks Katterburg.

Lebih dari sembilan dekade telah berlalu sejak tempat ini menyandang nama barunya. Sekarang château de plaisance ini adalah istana musim panas di bawah pemerintahan Kaisarina Maria Theresa, putri dan penerus dari Kaisar Charles VI, satu-satunya penguasa wanita dalam wangsa Habsburg – meski dia harus bersusah payah mengklaim gelar sebagai Kaisarina Romawi Suci, hanya karena orang-orang seringkali mendiskreditkan wanita sebagai penguasa.

Pemilik tempat ini hanya datang saat musim panas saja. Saat keluarga kerajaan kemari, tempat ini tidak lagi sepi seperti ketika penguasa sebelumnya hanya datang untuk mendapatkan sedikit hiburan dengan berburu burung pegar. Pesta dansa dan jamuan makan, juga pertunjukan musik seringkali diadakan. Namun saat musim panas berlalu, segala kemeriahan itu pun memudar seiring dengan pergantian warna di kebun-kebun Schönbrunn. Keluarga kerajaan barangkali tak ingin melihat perubahan itu dan kembali ke istana Hofburg.

Wangsa Habsburg memiliki kekuasaan yang besar di penjuru Eropa, seperti sebuah keluarga besar yang memerintah negeri-negeri di benua Eropa dengan nepotisme dalam sebuah pohon silsilah yang juga sangat besar. Begitulah para bangsawan kerajaan, kalau silsilah mereka ditelusuri, kita akan tahu kalau para pemimpin di Eropa saling berkerabat satu sama lain. Saat salah satu dari mereka berada dalam ritual koronasi untuk menjadi penguasa, sederet gelar bergengsi yang melekat padanya akan disebutkan, daerah mana saja yang berada dalam kekuasaannya – gelar itu bisa saja sepanjang invokasi pemanggilan demon, saking panjangnya yang harus disebutkan.

Aku telah hidup begitu lama untuk menyaksikan puluhan, atau bahkan ratusan pemimpin, apapun gelar mereka – entah itu kepala suku, raja, atau kaisar – silih berganti memegang tampuk kekuasaan negeri-negeri manusia di bumi. Aku telah berkelana ke berbagai penjuru bumi, lembah Eufrat dan Tigris, Mesir, Mediterania, Albion dan Éirinn, Perancis, jazirah Skandinavia, dan sekarang Austria.

Satu-satunya yang kudapatkan dari perjalanan panjang selama puluhan abad adalah manusia memang semakin bertambah banyak. Mereka berkembang biak dengan sangat cepat meski dengan serangan wabah sekalipun, ras yang sangat pantang menyerah dan mudah beradaptasi. Namun mereka tetap bebal. Tak peduli berapa lama waktu berlalu, bahkan meski ribuan tahun berlalu, seolah sifat itu telah begitu mengakar dan menjadi sifat alamiah mereka.

Meski demikian, manusia tetap adalah makhluk yang menarik dan penuh kejutan. Dalam kehidupan panjangku, tidak peduli betapapun banyak hal yang sudah kupahami dari manusia – dan mereka sangat mudah ditebak dalam beberapa hal – tetap saja sesekali ada kejutan tidak terduga. Keteguhan mereka, kemauan keras untuk tidak menyerah, ketulusan, cinta – yang tetap ada meski dalam masa sulit – adalah sebagian dari kejutannya, saat aku telah begitu yakin kalau manusia bukan lagi makhluk yang semurni dan setangguh itu setelah terbukti melakukan kesalahan fatal yang membuat mereka terusir dari Elysium.

Dalam beberapa peristiwa, apa yang telah terpatri dalam jiwa manusia mempengaruhiku. Seorang demon yang mencicipi darah atau memangsa jiwa manusia, merasakan apapun yang melekat padanya. Emosi manusia adalah bumbu dari jiwa itu sendiri, begitu juga dengan ingatan dan pengetahuan seseorang yang melekat pada darah juga turut membawa secercah emosi. Semakin kompleks emosi yang melekat, semakin pekat kontradiksi di dalamnya, maka akan semakin nikmat rasanya.

Namun merasakan kenikmatan itu bukan tanpa efek samping. Rasanya seperti candu yang memabukkan, seperti itulah darah dan jiwa manusia bagi kaum demon. Saat mereguk dalam-dalam kenikmatan itu, sebagian dari kewarasan kami dipertaruhkan. Karena dalam keadaan tertentu, bukan tidak mungkin kami justru terhanyut dalam pengaruh emosi itu.

Saat tenggelam begitu dalam, tak mampu meraih permukaan, emosi-emosi menjadi seperti bekas luka permanen, menelusup ke alam bawah sadar kami dan berdiam di sana selamanya. Seperti itu lah yang terjadi padaku beberapa abad yang lalu. Tepat di perkebunan ini, ketika tempat ini masih disebut sebagai Katterburg.


Alter: Wondering MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang