Disclaimer: Semua tokoh dan setting yang tercantum dalam manga Black Butler adalah milik Yana Toboso.
~~~***~~~***~~~
Lebih dari satu dekade berikutnya aku punya banyak sekali waktu luang. Tidak ada perintah apapun soal peperangan. Itu berarti aku pun harus menahan lapar, karena satu-satunya caraku mendapat mangsa selama menjalani kontrak panjang ini adalah dengan berada di medan pertempuran. Memang ini bukan pertama kalinya aku berpuasa, menahan diri dalam waktu cukup lama bukanlah sesuatu yang mudah dijalani, tapi selama beberapa abad belakangan ini aku semakin ahli melakukannya.
Selama itu, aku banyak menghabiskan waktu dengan berkeliling wilayah kekaisaran, mengamati apapun yang bisa disaksikan di antara manusia dan zaman yang terus berubah. Sesekali aku datang kembali ke Schönbrunn, Joseph selalu mengundang saat mengadakan pesta dansa. Aku masih mengawasi Maria Theresa, sepertinya sekarang tak ada yang perlu dicemaskan dari sepak terjangnya. Wilayah kekuasaan kekaisaran ini sudah tidak sebesar dulu, dampak dari perang suksesi yang berlangsung memang tidak terhindarkan. Demikian juga dengan berbagai kemunduran lain pada kekaisaran. Begitulah takdir sebuah peradaban; ada saatnya lahir, berkembang, dan runtuh – atau menjadi sesuatu yang lain.
Hubungan wanita itu dengan anak-anaknya masih sama seperti dulu. Betapapun bongkahan besar gunung es itu telah meleleh di beberapa bagian, Maria Theresa tetaplah sebuah bongkahan gunung es yang sangat besar. Sifat keras kepalanya menimbulkan masalah lain ketika kesehatannya mulai runtuh.
Menjelang hari terakhir Kaisarina, aku datang menengok ke Hofburg. Amarahnya padaku sepertinya sudah memudar terbilas waktu. Dia berucap dengan lemah, mengatakan betapa dia cemas, dan takut, dengan nasib jiwanya setelah mati. Kukatakan padanya agar tidak perlu merasa demikian, karena aku tidak memiliki hak apapun atas jiwanya. Kalung rosario milik Julian Fichter yang sempat kupungut sebelum terbang menyusul untuk menyaksikan pembalasan dendamnya, ada di atas meja di sisi tempat tidur Maria Theresa, rupanya dia masih menyimpannya setelah kuberikan saat terakhir kali kami berbicara satu sama lain.
"Rupanya Anda masih menyimpan kalung itu."
Maria Theresa terbatuk-batuk. Kutawarkan segelas air padanya, dia minum sedikit, kemudian berbicara dengan lirih. "Apa yang pernah kau katakan padaku soal rosario itu, kau tidak berbohong, kan?"
Aku tersenyum, kuingatkan lagi satu kebenaran kecil padanya. "Salah satu perintah dasar dalam pemanggilan saya, adalah untuk menjawab semua pertanyaan tanpa keraguan, bukankah itu sama artinya kalau saya harus teguh dan berkata jujur. Tentu itu bukan kebohongan, rosario itu milik seorang pemuda yang pemberani. Beberapa abad lalu, dia tinggal di Katterburg, di tempat yang sama dengan istana yang begitu berarti bagimu, Schönbrunn."
Saat pergi meninggalkan istana, aku berpapasan dengan reaper yang pernah kutemui di Schönbrunn. Tidak ada kata-kata yang bersahutan, hanya sebuah lirikan singkat. Beberapa hari ke depan adalah hari-hari terakhir bagi Maria Theresa.
Suatu malam, saat berada di rumah minum di pinggir kota, di tempat yang sama ketika berpisah dengan si gadis pelayan, punggung tangan kiriku mendadak terasa seperti terbakar. Gelas besar berisi ale terguncang, sebagian kecil isinya tumpah saat aku tergesa meletakkannya kembali di atas meja. Aku sudah tahu apa yang terjadi, tapi tetap buru-buru melepaskan sarung di tangan kiri untuk memeriksa. Bukan kali pertama ini aku merasakan sensasi panas yang begitu menyengat, rasanya seperti ditoreh dengan besi panas – bagaimanapun rasanya tetap mengejutkan.
Meskipun dengan perih yang menyengat dalam sekejap, tidak ada darah yang menetes, berbeda dengan saat simbol itu membekas di permukaan kulit seperti tato. Kali ini, simbol pentagram itu lenyap, perih itu pun memudar seiring menghilangnya tanda itu. Di kejauhan, terdengar suara lonceng yang berdentang, menandakan kabar duka. Sang Kaisarina telah wafat. Kekuasaan wangsa Habsburg telah berakhir.
Tanggal dua puluh sembilan November tahun 1780, rantai yang mengikatku pada dinasti Habsburg telah terputus. Satu hadiah siap untuk diambil. Aku meminum ale banyak-banyak, sembari menunggu rasa senang menjelang.
Sayangnya, tidak ada apapun. Kebebasan itu telah kembali. Namun aku tidak merasa berbeda dari sebelumnya, tidak ada perasaan lega, ataupun kepuasan. Begitu banyak yang telah terjadi, seperti halnya waktu yang tak mungkin bergulir secara terbalik, beragam peristiwa yang sudah membentuk diriku saat ini, dan ribuan kenangan yang membayang di setiap renungan, mengokohkan perubahanku sendiri. Aku memang tidak lagi sama seperti dulu.
Gelas ale yang isinya masih separuh, kutinggalkan begitu saja. Aku akan menemui seseorang untuk terakhir kali sebelum pergi.
Seorang pria dengan jubah beledu yang tampak mewah memblokir jalan. "Tugasmu sudah selesai, kan. Jadi kau akan pulang sekarang? Atau kau mau ikut bersenang-senang?"
"Maaf, Eligor, aku harus menemui seseorang," kataku sambil menyelipkan tubuh melewatinya ke pintu keluar. "Besok, atau lusa, aku akan pulang. Aku melepaskan klaim pada jiwa Leopold I, dan akan kuurus sendiri nanti."
Eligor membelalak. "Kau sudah gila? Maksudmu, kau kerja gratis jadi budak manusia? Yang benar saja. Sudah berapa puluh gelas minuman yang kauhabiskan untuk merayakan kebebasanmu, hingga kau mendadak jadi kehilangan akal."
"Kau tahu ini tidak bisa dikatakan sebagai kerja gratis. Kita dapat tambahan bonus untuk memangsa siapapun yang kita mau di medan perang. Jadi, akan kulakukan apa yang harus kulakukan," tukasku.
"Kau ini sebenarnya sinting atau bodoh, sih?"
Kuabaikan ocehannya dan pergi. Bagi Eligor, ini adalah keputusan paling bodoh sepanjang sejarah kaum demon, ketika sebuah kontrak selesai, hadiah dari kesepakatan itu malah dilepas begitu saja. Bagiku, ini adalah sesuatu yang harus dilakukan, mungkin, ini adalah sesuatu yang lebih baik dilakukan. Aku tidak lupa diri, pun tidak sedang berusaha menyangkal jati diri. Sesekali kita pasti terdorong untuk melakukan sesuatu – yang meski bagi orang lain itu adalah tindakan gila untuk dilakukan, namun tetap tidak mengurangi esensi kebenarannya.
Kini aku kembali bebas mengepakkan sayapku, tanpa terlihat oleh manusia. Aku terbang ke sisi lain kota Vienna. Ada satu pemberhentian terakhir yang bisa didatangi. Setelah lebih dari satu dekade berlalu, ada kabar bahwa Corrina mengambil alih pelesiran tempatnya bekerja.
Setelah memastikan dia sendirian di kamar, aku mengetuk jendelanya. Tidak lama kemudian, salah satu sisi jendela itu dibuka, dan seorang wanita paruh baya membelalak menatapku. Waktu telah mengguratkan garis-garis usia tua di wajahnya, begitu juga dengan rambutnya yang memutih, nyaris membuat wanita itu terlihat asing, namun sorot mata cerdas itu masih bisa kukenali.
Corrina terkesiap. "Kukira kita tidak akan bertemu lagi."
"Halo, Corrina. Kau takkan membiarkanku semalaman melayang di depan jendelamu, kan?"
Dia memberikan senyum favoritku, bahkan semua guratan di wajahnya tidak membuat senyum itu terasa berbeda. "Kita akan mengobrol dan minum anggur semalaman?"
"Kalau itu yang kau mau."
Barangkali predikat sebagai dewa peperangan dan pembuat kekacauan akan musnah. Tapi aku takkan peduli apa yang dipikirkan orang lain tentangku. Manusia akan selalu menilai segalanya dari permukaan saja. Sementara di sisi lain, tidak semua demon akan memahami apa saja yang sudah menjadi pilihanku. Dalam aliran waktu yang terus bergulir, dunia dan seisinya akan terus berubah, demikian juga denganku. Selama itu pula, setiap kenangan akan memoles perubahanku; entah berubah jadi lebih baik, atau sebaliknya.
Biarlah tangan-tangan Takdir yang akan memandu jalanku selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alter: Wondering Memories
Fanfiction"Aku tidak lupa diri, pun tidak sedang berusaha menyangkal jati diri. Sesekali kita pasti terdorong untuk melakukan sesuatu yang meski bagi orang lain itu adalah tindakan gila untuk dilakukan, tapi tetap tidak mengurangi esensi kebenarannya." ...