Disclaimer: Semua tokoh dan setting yang tercantum dalam manga Black Butler adalah milik Yana Toboso.
~~~***~~~***~~~
Gemericik air mengalir dari vas yang dipegang patung Egeria, nymph Romawi kuno, mengisi senyap dengan irama yang menenangkan. Sebuah tiruan dari sosok nymph yang tubuhnya berubah menjadi mata air di Porta Capena, konon dia meleleh setelah menangisi wafatnya Numa Pompilius sang Raja Roma. Kebenaran dari kisah itu tidak bisa kupastikan, saat peristiwa itu terjadi beberapa abad sebelum masehi, aku tidak berada di Roma. Di sini dia duduk dengan elegan di atas tahta batu, mengawasi air dalam kendinya mengalir memenuhi jambangan besar, seolah memastikan air di jambangan itu takkan pernah habis. Obor di pintu masuk bangunan yang melingkupi mata air tertiup angin, menciptakan sebuah ilusi pada wajah Egeria. Bayangan dan cahaya yang bergerak dalam ruangan itu karena hembusan angin malam, membuat sosok Egeria seolah terbebas dari kebekuan penjara waktu yang menyekap dirinya dalam duka mendalam selama lebih dari seribu tahun.
"Tuanku, Anda memanggil saya?" Ada getaran rasa takut dalam suara itu.
Aku memutar tubuh menghadap si pemilik suara yang berdiri di dekat pintu masuk. Pria paruh baya dengan rambut ikal kelabu, yang selalu mengangguk dan mengulas senyum saat kami berpapasan di kebun, menatapku dengan mata sayu. Aku menggenggam erat pedangku, demi untuk menguatkan tekad dan mengingatkan diri kalau ini adalah tugas.
"Putrimu sudah pulang?"
Si tukang kebun menatap cemas pada pedang di tanganku. "Sudah, Tuan."
"Bagus," aku mengangguk. "Jawablah dengan jujur apa yang kutanyakan, karena bagaimanapun caranya aku pasti akan menarik keluar kejujuran itu darimu. Kau tahu apa yang membuatmu dipanggil kemari malam-malam begini?"
Tukang kebun itu terdiam. Barangkali dia sedang mengira-ngira kesalahan mana yang membawanya kemari, kesalahan kecil dengan pekerjaannya di kebun, atau sesuatu yang lain.
"Kesalahan fatal macam apa yang kau lakukan? Sebuah laporan sampai ke tangan Kaisarina. Dan beliau sangat tidak senang."
Pria itu mundur selangkah. Bahkan dalam cahaya terbatas di ruangan itu, siapapun bisa melihat perubahan raut wajahnya yang memucat. "Kalau yang Anda maksud adalah pekerjaan di Taman Belanda, saya mohon maaf – ."
Pagar besi di pintu masuk berdentang keras saat terbanting menutup. Api obor bergerak panik meski tidak ada angin kencang yang bertiup. Sulur-sulur hitam merambat di dinding dan lantai, menyelubungi patung Egeria dan membungkam gemericik air yang tadinya memberikan sedikit ketenangan. Kini bayangan nyaris menelan seluruh ruangan dalam kegelapan pekat.
Pria itu jatuh berlutut dan gemetar, sementara aku menjulang di depannya, menatapnya dalam sosok yang hanya kutunjukkan pada saat-saat tertentu di Gehenna, sesuai dengan yang digambarkan oleh beberapa penulis yang menyimpan pengetahuan kaum demon dalam lembar-lembar perkamen kusam – meski tentu saja aku hanya bisa mempertahankan wujud ini selama beberapa saat saja dalam kontrak yang mengikat wujud materialku di dimensi ini.
"Sudah kubilang aku ingin jawaban jujur. Berdusta takkan membantumu. Katakan padaku apa yang sudah kaulakukan, Johann Hofer?"
Johann Hofer menggumamkan doa dengan suara bergetar.
"Jawab aku! Pengkhianatan macam apa yang sudah kaulakukan?"
Dengan sedikit paksaan dalam interogasi singkat itu, Johann Hofer mengatakan semuanya. Tentang putrinya yang terlibat skandal dengan kerabat sang duta besar Prussia, dan melahirkan seorang putra diluar ikatan pernikahan. Kemudian demi mencari nafkah tambahan, putri dari mendiang adik laki-lakinya yang sudah lama tinggal bersama mereka bekerja sebagai pelayan dengan meminjam nama putri Johann Hofer.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alter: Wondering Memories
Fiksi Penggemar"Aku tidak lupa diri, pun tidak sedang berusaha menyangkal jati diri. Sesekali kita pasti terdorong untuk melakukan sesuatu yang meski bagi orang lain itu adalah tindakan gila untuk dilakukan, tapi tetap tidak mengurangi esensi kebenarannya." ...