Epilogue: Scattered Memories

94 7 0
                                    

Disclaimer:
-Semua tokoh dan setting yang tercantum dalam manga Black Butler adalah milik Yana Toboso.
- Eligor dan Flauros adalah demon yang namanya disebut dalam Lemegeton dan Pseudomonarchia Daemonum.  


~~~***~~~***~~~ 




Seperti yang sudah dijanjikan, aku kembali pulang dan melepaskan klaim pada jiwa Leopold I. Eligor memberengut, kentara sekali dia berusaha menahan serangkaian gerutu. Flauros, seperti halnya yang lain, nyaris tak bisa menutup rahang mereka yang terbuka, ternganga karena terkejut.

Untuk beberapa lama, aku tetap berada di rumah. Eligor berkata, terlalu lama berada di dimensi manusia membuatku tidak waras. Flauros yang masih terheran-heran, menyetujui pendapat Eligor dan menyuruhku tidak pergi kemana pun. Mereka beruntung di luar sana tidak ada sekelompok manusia yang berusaha memanggilku.

Lebih dari satu abad berlalu, aku kembali ke dimensi manusia, untuk mampir ke Kapuzinergruft, menengok seorang kaisarina – bahkan meski aku tahu yang berada di sana adalah sisa-sisa dirinya. Aku membawa beberapa tangkai bunga lily putih, bukan untuk sebuah alasan sentimental, hanya karena membawa bunga adalah hal yang biasa dilakukan saat mengunjungi makam seseorang.

Setelah itu, aku mengunjungi beberapa tempat di Eropa, melihat-lihat perkembangan manusia selama satu abad belakangan. Di barat, peperangan tidak tampak, kudengar mereka mengalihkan segala kekacauan itu ke timur – menjadikan daerah di sana sasaran perebutan untuk melanjutkan gengsi imperial para penguasa barat yang masih berjaya.

Bahkan dalam keadaan damai itu, kegelapan tetap mengintai dari segala sudut. Kali ini bukan peperangan secara terbuka, tapi arena saling jegal di keremangan lorong kehidupan. Para rakyat jelata tetap berusaha bertahan dalam keterpurukan akibat kesenjangan sosial. Sementara mereka yang lebih berada, saling berkompromi, juga saling sikut, demi untuk mengikuti ambisi dan kepentingan.

Suatu malam, sekelompok orang memanggilku. Seperti yang sering terjadi, para pemanggil itu bernasib naas di tanganku – mereka layak mendapatkan akhir demikian, sungguh.

Seorang bocah yang menjadi tawanan, telah kehilangan segala yang disayanginya, meneriakkan sesuatu yang menarik. Sebetulnya, bukanlah kalimat penyangkalan yang menarik minatku saat itu, namun amarah membuncah yang nyaris tak terbendung, memancar jelas dari mata sebiru permata pada mahkota Louis XVI. Alih-alih mengikuti keinginan sekelompok manusia dewasa yang melakukan ritual, bocah kecil itu lah yang akhirnya membuat perjanjian – simbol Pentagram Sulaiman kembali berada di punggung tangan kiriku.

Salah satu mata safir indah bocah itu menjadi tempat bagi simbol pentagram yang sama. Dia mengaku bernama Ciel Phantomhive, penerus bagi Earl Phantomhive sebelumnya. Ada dusta dan kebenaran dalam pernyataannya, berbaur jadi satu seperti rasa manis-pahit yang ada dalam anggur. Dusta yang terasa demikian ironis dari larangan berbohong yang ditetapkannya padaku.

Apapun itu, tidak jadi soal. Kontrak sudah dibuat, aku diberikan nama baru, Sebastian Michaelis. Nama depanku yang baru, sialnya, diambil dari nama anjing peliharaan keluarga Phantomhive. Terlepas dari betapa menyebalkannya asal muasal nama baruku, nama itu memang terdengar ironis bagi seorang demon. Makna dari nama itu sendiri terdengar terlalu bagus untuk kusandang. Selain itu, manusia terakhir yang kukenal menyandang nama yang sama adalah seorang inquisitor, yang menulis buku tentang demon.

Kali ini, tampaknya aku termakan omonganku sendiri – ucapan yang kukatakan dengan tak acuh beberapa abad belakangan. Nyaris bisa kudengar Eligor yang tertawa terbahak-bahak, melupakan perang dingin di antara kami karena keputusanku melepas klaim jiwa Leopold I. Kini aku harus mampu menjadi seorang pelayan yang layak bagi keluarga bangsawan – seorang pelayan tidak boleh memasang wajah masam. Bahkan mengurus earl muda itu adalah sebuah tantangan tersendiri bagiku yang belum pernah punya pengalaman merawat bocah kecil yang baru menjelang masa remaja.

Suatu hari, aku menawarkan memberinya kursus singkat untuk berdansa. Sebuah tawaran yang untuk sejenak melontarkanku pada masa lalu saat mengabdi pada wangsa Habsburg.

"Dasar bodoh! Kaukira aku mau berdansa dengan pria yang besar sepertimu?" Dia meneriakkan penolakan itu sambil menggenggam erat garpu yang hendak dipakainya menyantap kue, merasa terhina, karena aku mengusik gengsinya dengan menyatakan ketidakmampuan sang earl muda untuk bersosialisasi di kalangan atas gara-gara tidak bisa berdansa.

Namun bayangan menjadi pajangan dinding saat pesta dansa, dan kemungkinan mengacaukan nama baik keluarganya sendiri saat bersosialisasi tampaknya membuat Earl Phantomhive muda memikirkan kembali tawaranku dalam sekejap. "Kau tahu caranya berdansa Waltz?"

Aku tersenyum padanya, sementara untuk sejenak anganku berkelana ke Austria. "Kalau untuk Viennesse Waltz, Anda tidak perlu kuatir. Saya dulu sering jadi perhatian di istana Schönbrunn." Bocah itu tampaknya tidak akan menolak. Dia tidak punya waktu untuk menolak, selagi tunangannya yang heboh menantikan dansa yang romantis. Aku mengulurkan tangan pada majikanku, "Bersediakah Anda berdansa dengan saya untuk satu putaran lagu, my lord?"

Sebuah latihan yang kikuk, sebagian besar diisi oleh Earl Phantomhive muda yang menginjak kaki dan menendang tulang kering butlernya. Sebelum ini, aku tidak pernah mengajari anak-anak berdansa, barangkali ini lah yang dirasakan instruktur dansa para putra dan putri Maria Theresa. Kalau anak-anak Maria Theresa diberkahi keluwesan dalam berdansa, majikan baruku tampaknya memiliki bakat yang nihil soal cara bersosialisasi ini – semoga saja ini hanya masalah waktu karena dia harus belajar secara mendadak demi untuk menyenangkan tunangannya.

Bagi para demon di luar sana, aku pasti sudah gila dengan merendahkan diriku sendiri sebagai seorang pelayan – betul-betul seorang pelayan yang menghambakan dirinya pada seorang majikan. Eligor pasti akan terpingkal-pingkal soal bagaimana aku termakan omongan sendiri, tapi dia mungkin akan melontarkan komentar yang lebih tajam lagi karena situasiku yang makin merosot. Permainan sebagai bangsawan yang menetap di Schönbrunn – yang disebutnya sedikit lebih baik daripada jin botol – masih jauh lebih baik daripada permainan sebagai seorang pelayan yang kegiatan sehari-harinya dari fajar hingga lepas tengah malam berkutat dengan tugas-tugas domestik.

Kurenungi masa lalu di antara tugas-tugasku sebagai seorang butler. Kenangan-kenangan yang terserak bagai daun-daun kering pada musim gugur, menarik bagi mereka yang penasaran, tapi juga terabaikan oleh begitu panjang abad-abad yang berlalu.

Berubah seperti apapun, meski beragam gelar yang brutal itu sudah lama tak lagi kusandang, masa lalu akan tetap demikian adanya, membeku tak tersentuh dalam waktu yang telah lampau. Betapa pun tugas-tugas baru sebagai seorang pelayan seolah memisahkanku dari jati diri, jauh di balik tailcoat hitam yang selalu kukenakan dan senyuman sopan, aku tetap seorang demon yang telah bermandikan darah manusia.

Aku takkan berkata perubahan itu sia-sia belaka. Bahkan dengan ribuan tahun yang membentang di belakang, aku masih seorang entitas yang berusaha memahami dan mencari jawaban di antara isyarat kehidupan.[]


Alter: Wondering MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang