Langit pagi ini, tak secerah biasanya. Bahkan rintik-rintik air dari langit mulai turun, meski tak besar. Seolah memberikan dukungannya padaku. Ah, bahkan langitpun memahami perasaanku. Lalu bagaimana dengan kamu?
Kamu. Sesosok yang dapat membuat jantungku berdetak diatas normal. Membuatku terpaku berdiam diri ditempat.
Kamu telah kembali. Aku tak tahu, entah harus merasa senang dengan kembalinya kamu, atau harus merasa sedih tersebab perasaan yang ku kubur bertahun-tahun telah kembali menampakan diri lagi.
Lima tahun kepergianmu yang tanpa pamit, nyatanya belum mampu membuat perasaan terhadapmu hilang. Perasaan tak bernama yang sulit kuhilangkan. Perasaan itu nyatanya masih bersarang ditempat ini. Sebuah tempat yang sulit terjamah oleh selainmu. Sebuah tempat yang bernamakan hati.
Seharusnya aku sadar, bahwa jika tak ingin menghasilkan kekecewaan, aku tak boleh berharap padamu bukan?
Karena Tuhanku yang tentu saja juga menjadi Tuhanmu tak menyukainya.Kamu berdiri disana, melihat kearahku sambil tersenyum.
Sedang aku, membeku disini, tak mampu berjalan meski satu langkah, tak mampu membalas senyummu meski satu senti.Hingga entah sejak kapan kamu berada dua langkah di depanku.
"Assalamualaikum, " kamu mengucap salam. Salam pertama setelah lima tahun.
"Wa.. Wa'alaikumsalam," jawabku gugup entah karena apa.
Kamu kembali tersenyum. Sedang aku hanya bisa menunduk.
"Long time no see, Apa kabar?" tanyamu, mungkin berbasa-basi.
Sebab harusnya kamu tahu, sejak kepergianmu aku tak pernah benar-benar baik.
Aku tak menjawab, hanya menatapmu lamat-lamat.
"Hey, kamu baik-baik saja? " tanyamu menggerak-gerakkan tangan di depan wajahku.
Seketika aku tersadar, "ah, tentu saja aku baik."
"Syukurlah" kamu bergumam.
"Kamu sendiri, apa kabar? " aku bertanya padamu.
Kulihat kamu tersenyum getir, ada rona kesedihan di wajahmu.
"Sejujurnya, aku tak baik-baik saja semenjak pergi tanpa pamit padamu."
Aku tercengang, haruskah aku percaya? Atau bolehkah aku kembali berharap, bahwa perasaanku bukanlah perasaan sendiri.
***
Entah hanya perasaanku saja atau memang benar, Taman kali ini terasa sepi. Mungkin karena gerimis yang mulai turun.
Setelah berbasa-basi, aku dan kamu memilih duduk di salah satu kursi di Taman ini.
Hingga beberapa menit terduduk, tak ada yang memulai percakapan antara aku dan kamu.
Aku merasa kamu menoleh kearahku, sehingga membuat aku menoleh kearahmu.
Kamu kembali tersenyum, kali ini bukan senyum getir.
"Masihkah ada kesempatan untukku? " tanyamu tetiba.
Aku menghela nafas, "kesempatan untuk apa? " aku pura-pura tak mengerti.
Kini giliranmu menghela nafas, "kesempatan untuk menjadikanmu halal bagiku" jawabmu mantap.
Aku terperangah, segera ku tolehkan wajahku kembali kearahmu. Aku menatap matamu, yang kudapati disana adalah keseriusan. Sungguh aku tak pernah menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu darimu.
Aku tak tahu harus menjawab apa, meski sejujurnya kamu selalu memiliki kesempatan untuk itu.
Kamu, kembali membuat ku merasakan debar yang menebar.
"Entahlah, tanyakan saja pada Ayahku" kataku.
Sebuah kalimat yang sebenarnya bermakna kamu masih punya kesempatan.
Aku tak tahu apakah kamu mengerti makna dari jawabanku atau tidak. Namun yang jelas, saat ini aku melihat senyum tulusmu. Senyum yang sempat aku rindukan. Senyum yang baru bisa kulihat kembali setelah lima tahun kepergianmu. Kuharap, kelak aku bisa selalu menikmati senyum itu.
"Terimakasih" kamu berkata dengan senyum yang masih betengger.
***
Cerita ini ditulis dalam keadaan langit yang tengah menangis. Ditemani awan kelabu, coklat panas, juga kenangan tentangnya.
Selamat menikmati ❤