Aku terduduk disebuah kursi di Taman kampusku. Kamu tahu, disini aku tak sendiri. Dia. Ya dia menemaniku disini. Duduk berjarak satu meter dari tempatku duduk.
"Kamu" tetiba dia berkata, namun kemudian diam kembali.
Aku masih menunggu dia menyelesaikan perkataannya. Namun nyatanya, ia tak bersuara kembali.
"Ehem," dia memulai ancang-ancang untuk kembali berbicara.
"Adakah kesempatan untukku?" ahh pertanyaan itu. Sejujurnya aku tak pernah nyaman dengan pertanyaan semacam itu. Terlebih dari seseorang yang lain, selain kamu.
"Maaf, kesempatan untuk apa?" Retoris. Aku berpura-pura tak mengetahui maksud dari pertanyaannya. Katakanlah aku bodoh, aku tak peduli.
"Aku tahu, kamu pasti mengerti maksudku" jawabnya.
"Maaf" aku berkata lirih sembari menundukan kepala.
"Kenapa?" Ia bertanya kembali.
Aku diam, tak berniat sedikitpun menjawab pertanyaannya.
"Apa karena dia?" katanya lagi.
Kutolehkan wajahku kearahnya sejenak.
"Iya" jawabku lirih.
"Bahkan setelah empat tahun? Apa aku masih tak memiliki kesempatan?"
"Maaf" kembali kuulangi jawaban itu.
"Apa kamu tak lelah, Menunggu seseorang yang bahkan kamu sendiri tak mengetahui keberadaannya? Seseorang yang bahkan tak memberimu kepastian, sama sekali. "
"Bagiku lebih baik menunggu tanpa kepastian, dari pada menunggu dengan diberi kepastian namun saling ingkar. "
Dia diam, menatap lurus kedepan. Aku dapat melihat raut kecewa di wajahnya.
Kamu, haruskah aku menyerah dalam menantimu? Adakah kamu sedang berjuang untuk menjemputku? Atau, apakah hanya aku yang menanti, sedang kamu sama sekali tak menujuku?
Kamu, tolong beritahu aku, haruskah aku berhenti dalam menantimu. Agar tak ada lagi perasaan kecewa untuk dia, untuk sesiapapun masa depanku kelak, juga untukku.
"Maaf, " dia berkata membuyarkan lamunanku tentangmu.
"Maaf sebab memaksamu" katanya selanjutnya.
Kulihat dia tersenyum getir.
Kembali, kami sama-sama dikungkung hening.
Beberapa menit, tak ada yang membuka suara. Aku tak cukup berani untuk berbicara lagi, namun entah dengannya.
"Jika tak ada yang ingin dibicarakan lagi, aku permisi," kataku sambil berdiri.
"Shaloom!" Dia memanggilku, membuatku menghentikan langkah, namun tak membuatku membalikkan badan kearahnya.
Aku bergeming di tempatku berdiri.
"Kelak suatu saat, kapan pun itu. Jika aku memiliki kesempatan, boleh aku memintanya?"
Aku tak tahu jawaban apa yang harus kuberikan. Haruskah aku menyetujuinya? Atau sama sekali tak memberinya harap?
Setelah beberapa menit terlewati dengan aku yang tengah berpikir dan dia yang tengah menunggu jawaban, akhirnya aku putuskan untuk mengiyakan permintaannya.
"Tapi.." kataku ragu.
Aku membalikan badanku kearah nya.
"Ya?" Dia menyahut terdengar sekali bahwa dia penasaran.
"Jika kamu menemukan seseorang yang bisa kamu jadikan rumah untuk berpulang, kumohon berhentilah menungguku," sungguh itu kalimat terpanjang yang aku lontarkan.
Kudengar dia menghela napas.
"Baiklah, aku setuju. Meski aku tidak tahu, apakah bisa aku memberikan hatiku untuk seseorang yang lain selain kamu."
Aku memejamkan mata, "semoga apapun akhir kisah kita, entah saling membersamai atau tidak kuharap kamu selalu bahagia."
Dia tersenyum, senyum getir yang selalu ditunjukan ketika aku tengah memikirkanmu.
***
Aku tahu ini pendek 😂 tapi enggak apa-apa dong😁