Without

68 7 0
                                    

"Ayo kita menikah!" katamu dengan tetiba. Kalimat itu lolos begitu saja dari mulutmu.

Aku menoleh padamu, "kamu gila? " tanyaku sarkastis.

"Kenapa?" tanyamu retoris.
"Kita sama-sama masih melajang, usia kita bisa dikatakan matang untuk memulai sebuah pernikahan, apalagi?" lanjutmu kemudian.

"Diantara kita tidak ada Cinta!" aku bergumam dengan sedikit berbohong. Apa kamu percaya pada kata-kata bahwa diantara laki-laki dan perempuan tidak ada persahabatan, kecuali diantara keduanya atau bahkan keduanya tengah memendam perasaan. Aku percaya kata-kata itu, sebab aku mengalaminya. Ya sebab aku Cinta, dan kamu tidak. Bohong jika aku berkata aku tak mencintaimu. Sebab perasaan itu telah aku rasakan sejak lama.

Hening. Diantara kita tak ada yang bersuara. Hingga beberapa saat kamu kembali bersuara. "Bukankah Cinta bisa datang seiring berjalannya waktu. Witing tresno jalaran soko kulino. Jika kamu lupa bukankah Cinta bisa datang karena terbiasa?"

Bukan aku tak mau, aku hanya takut. Jika suatu saat rasaku padamu semakin tak terbendung, sedangkan kamu sama sekali masih tak memiliki perasaan padaku. Aku takut ketika rasaku telah terlalu besar padamu, kamu pergi meninggalkanku.

"Atas dasar apa kamu memintaku menikah denganmu?" tanyaku penasaran.

"Mungkin, karena kamu orang yang paling aku percaya. Aku percaya kamu akan mampu menjadi istriku sekaligus ibu dari anak-anakku kelak." kamu menjawab dengan yakin.

"Meski tanpa adanya Cinta diantara kita?" aku mencoba meyakinkanmu. Ahh bukan, lebih tepatnya meyakinkan diriku sendiri.

"Oh ayolah, kita bisa belajar untuk saling mencintai setelah kita menikah." kamu berbicara dengan sedikit kesal.

Kamu tahu, tak perlu belajar untuk mencintaimu setelah menikah. Sebab, nyatanya saat ini pun aku telah mencintaimu.

"Apa kamu yakin?" aku kembali bertanya.

"Sangat yakin." kamu menjawab, aku menoleh padamu, menatap matamu mencari mencari sedikit saja ragu disana, ternyata yang kudapati adalah kesungguhan.

Aku terdiam, menatap lurus kedepan.  Mencoba meyakinkan hatiku, mencoba melawan rasa takutku.

"Aku memang tak bisa menjanjikan kebahagiaan untukmu, aku memang belum mencintaimu saat ini layaknya perasaan laki-laki kepada perempuan. Tapi percayalah aku akan berusaha untuk membuatmu bahagia, aku akan belajar mencintaimu. Maaf bila kata-kataku terlalu picisan. Jadi, maukah kamu menjadi teman hidupku, sahabat sehidup sesurgaku? Maukah kamu menjadi istriku, menjadi ibu untuk anak-anakku kelak. Kamu, maukah menikah denganku?" rentetan kalimat panjang itu meluncur dari mulutmu dengan keyakinan, aku merasakan keyakinan itu.

Aku terisak mendengar kalimatmu.

"Hey, kenapa menangis?" katamu panik melihatku menangis. Kamu mengusap kepalaku yang tertutup khimar.

"Maaf jika aku memaksamu" katamu. Aku semakin terisak.

"Baiklah, aku tak akan memaksamu menikah denganku, kumohon berhentilah menangis." katamu bertambah panik.

"Hey,  baiklah-baiklah aku tak akan memintamu menik-" "aku bersedia! " potongku cepat.

Kamu tercengang mendengar jawabanku. "Apa kamu bilang?" kamu bertanya memastikan, bahwa yang kamu dengar tidaklah salah.

"Aku bersedia menikah denganmu! "
Kataku yakin seyakin-yakinnya.

Kamu tersenyum sembari kembali mengusap kepalaku. Kulihat binar bahagia dimatamu.  Sekarang aku yakin dengan keputusanku. Bahwa aku bersedia menjadi istrimu juga ibu untuk anak-anakmu, ahh bukan lebih tepatnya ibu untuk anak-anak kita kelak.

***

Aku tau ini pendek 😂😂. Tapi enggak apa2 kan namanya juga cerita pendek.

Rahlanisma ❤

Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang