4: Eskalasi

11 0 0
                                    

“Tapak Agner!”

Energi menghempas keduanya menjauh. Dua orang berlawanan jenis saling beradu kemampuan. Menguji ketajaman jurus-jurus mereka. Keduanya sama-sama tersengal. Namun pria yang mengenakan seragam perwira Aliansi sengalannya lebih berat.

Arena pertarungan mereka terserak banya kehancuran. Empat pedestal yang berada di tengah ruangan rusak berat. Beberapa lampu bulat berteralis hilang pijarnya. Dinding logam pada beberapa permukaannya bercekung dan banyak bekas goresan dalam.

“Ada apa, tuan?” Wanita berkulit pucat dengan pusaran runcing di kepalannya mulai bicara. “Engkau terlihat muda. Tapi kenapa kau tersengal lebih berat?”

“Ahahahah...! Kau hebat, nona. Aku jadi merasa seperti kembali ke masa-masa dulu. Kau bisa menyamai kecepatan normalku. Sepeti halnya seorang yang dulu pernah mengalahkanku. Aku jadi merasa ketegangan di masa itu kau hadirkan lagi di masa ini. Terima kasih, nona. Kau buatku sangat bersemangat!” ujar sang pria berseragam itu.

“Berhentilah menyanjungku, tuan Zyr. Atau akan cepat kuhabisi kamu!”

“Bukankah dari tadi kamu memang berusaha menghabisiku? Ayolah, nona! Habisi aku!”

Sang panglima melangkah cepat menyerang wanita berkulit pucat itu. Wanita itu menapakkan kedua telapaknya jadi satu dan pusaran runcing itu membesar dengan segera. Mantap, ia ayunkan pusaran energi itu merata kedepan. Berusaha membabat musuhnya dalam satu kali ayunan. Namun lawannya itu melompat dengan ringan. Bersalto maju di udara. Mempersiapkan serangan mematikan.

“Tusuk Penghancur!”

***

“Rana! Roni! Ambil alih panel meriam pertahanan!” perintah Tuan Mo sigap. “Asleigh! Kendalikan kontrol drone penempur!”

Sementara kokpit frigat kelompok Tuan Mo semakin sibuk, berbeda dengan armada alpha di luar sana. Rantai komando yang tumpang tindih memperlambat koordinasi pasukan untuk melakukan serangan efektif.

“Hermust, tahan serdadumu,” ujar Vidia tinggi berbicara melalui layar kokpit pesawat komandonya. “Prioritas kita adalah menangkap Kelompok Mata Bayangan. Dan komandan sedang melakukannya. Kita hanya tinggal menunggu perintah selanjutnya.”

Seorang perwira berpangkat kapten menyembur dari sambungan starcomnya, “Butakah kamu, Vidia! Mereka sudah membuka serangan.

***

“Tebasan Kuzim!”

Petir merah berukuran besar melintang selebar ruangan. Sangat terang. Terayun pada Fadzin. Beruntung sang kolonel bisa menghindarinya tapi tidak dari gelombang kejut yang dihasilkan. Ia segera jatuh berlutut menerima sengatan yang berkali-kali lipat lebih kuat dari sengatan sebelumnya. Kesempatan itu tidak disia-siakan Elisa. Dengan cepat ia memperpendek jarak. Tangannya terayun ke belakang, bersiap untuk menuntaskan pukulan terakhir. Namun....

“Tusuk Penghancur!”

Pria berpangkat tinggi itu menghantamkan telunjuk pada lantai arena. Lantai logam seluas ruangan itu hancur berkeping-keping. Segera pusaran tajam yang mengelilingi tinju si wanita membuyar tepat sebelum ujungnya menebas leher Fadzin.

“Sudah kuduga,” ucap pria itu tersenyum. “Sumber kekuatanmu adalah lantai ini. Aku baru menyadari bahwa petir tidak datang dari atas melainkan dari bawah.”

Ia melompat menjauh, lalu melanjutkan, “Selama pertarungan kulihat arah listrikmu selalu mengalir dari lantai ke tanganmu. Kecuali dengan petir yang dari lampu. Tembakanmu dan yang lainnya berasal dari sumber yang sama. Sifat konduktor lantai ini memungkinkanmu menarik listrik dari sumber yang sama. Zyphon Collider. Iya, kan?”

EPIK; Semesta ParalelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang