"Komandan kalian sudah ada di tangan kami. Menyerahlah! Turunkan senjata kalian!"
Kata-kata hentakan itu memukul jiwa Vidia. Apa yang ia khawatirkan terjadi. Seperti apa yang lawannya katakan, keadaan mulai tidak berpihak pada mereka. Berbeda dengan wanita itu, rekannya lebih berpikiran optimis. Tidak ada kata menyerah kecuali mati. Bahkan jika keadaan mulai berbalik seperti saat ini.
"Omong kosong!" bentaknya. "Perlu kamu tahu, kami adalah prajurit terpilih! Menyerah tidak ada dalam kamus kami! Bahkan jika komandan tertangkap atau mati sekalipun pertempuran tidak akan berhenti! Serang!"
"Tahan, Hermust!" sergah si mayor wanita. "Prioritas kita adalah menangkap. Komandan sangat tahu itu. Provokasi tidak akan menyelesaikan masalah. Malah akan memperbanyak jatuhnya korban."
"Butakah kamu, Vidia!?" keras Hermust. "Kapal induk telah hancur. Provokasi mereka sudah lakukan! Apakah kita hanya diam menerima serangan-serangan mereka dan berharap mereka menyerah? Tidak mungkin! Kita sama-sama tahu reputasi mereka!"
Perdebatan masih berlangsung. Menggaung pada ruang kontrol Tuan Mo. Pemimpin Kelompok Mata Bayangan memerintahkan wakilnya, "Dion, siapkan lompatan Singularitas."
Semua yang berada di sana tersentak tak percaya. Pria dengan rambut klimis berbalik dari layar monitornya. Matanya melebar. "A-apakah anda serius dengan perintah itu?"
Pria bercambang lebat itu mengangguk singkat.
Wajah Dion berubah. Ia menggeram samar. "Anda sudah tahu kan apa yang ada di belakang kita? Melemparkan anomali ruang dengan jarak sedekat ini dengan planet sangatlah berbahaya. Milyaran penduduk tak berdosa bisa menjadi korban!"
"Aku lebih memikirkan keselamatan kita. Percuma memikirkan milyaran populasi yang bahkan bisa dikatakan haus akan darah kita. Mereka tidaklah peduli, Dion! Kehancuran kita adalah kelegaan mereka!" tukas Tuan Mo gerah.
"Anda tidak pernah melupakan tujuan di balik tujuan, bukan? Mengapa kita melakukan pekerjaan tak berdana ini? Dengan semua resiko ini? Percuma Anda mengusahakan tujuan itu. Idealisme itu. Jika pada dasarnya keputusan ini justru menegasi semangat Anda. Pikirkanlah sebentar, Tuan."
"Tujuan mulia tidak akan pernah tercapai jika kita musnah di tengah jalan. Kamu memintaku berpikir padahal kamu pun tidak bisa melihat langkah menuju kemuliaan di balik perintahku itu? Lakukan saja apa yang menjadi tugasmu!"
"Tujuan mulia kehilangan kemuliaannya jika kita melewati jalan yang salah. Anda sudah paham kalimat ini bukan? Masih ada jalan lain! Kita bisa menggunakan tiga meriam positron untuk memangkas blokade mereka. Memberi jalan pada kita untuk melakukan lompatan hyper. Kita masih bisa melarikan diri tanpa harus mengancam populasi di bawah sana!"
"Keputusan ada di tanganku!" tegas Tuan Mo. "Dan keputusanku adalah menggunakan Singularitas sebagai jalan kita! Tugasmu hanyalah menuruti perintahku! Sekarang, segera siapkan!"
Dion bangkit dari kursinya. Ia mengangkat tangan menyerah. "Maaf, Tuan Mo. Aku tidak bisa melakukannya. Carilah orang lain saja."
Pria itu berjalan menyeberang ruangan.
"Sudah kesekian kali kamu menolak perintah. Sudah tahu resikonya, bukan?" pria bercambang itu bergumam ketika sang wakil melintas di sebelahnya.
"Lakukan apa yang Anda inginkan, Tuan. Saya lebih memilih bertahan dengan idealisme ketimbang berkompromi!" dengan gumaman pelan, pria dengan rambut klimis itu berlalu meninggalkan ruang kontrol.
Ruangan hening. Terdengar suara dari speaker mikro milik Tuan Mo.
"Biar aku yang melakukannya, Paman!"
KAMU SEDANG MEMBACA
EPIK; Semesta Paralel
FantasyPenculikan seorang putri perusahaan multi-stellar berbuntut panjang. Ternyata aksi Kelompok Mata Bayangan kali ini sudah tercium. Mereka harus berjuang melepaskan diri dari kejaran armada Aliansi. Dalam perjalanan perlahan terkuak tujuan rahasia di...