7: Lautan Kabut Merah

17 0 0
                                    


Seperti paus yang menyelam di kedalaman samudera. Kapal Induk Hitam, Exaar, terbang melintasi Nebula Bixxatla. Kabut kosmis yang membentang dalam ruang kosong sebegitu luas hingga kapal induk raksasa itu terlihat begitu kecil di dekatnya. Para pilotnya lihai membimbing kapal besar itu melewati celah satu-satunya yang aman di petala Nebula raksasa tersebut.

Nebula Bixxatla mendapatkan namanya dari bintang yang ia kelilingi, bintang Bixxatla. Bintang ini termasuk di antara raksasa merah yang sedang mengembang begitu besar. Sudah lewat jutaan tahun pembengkakan itu berjalan, namun sang bintang tidak juga meledakkan supernova. Karna ukurannya yang besar, maka kecepatan revolusi nebula merah yang mengelilinginya ikut meningkat. Hantaman debu kosmis yang bergerak sangat cepat menjadi ancaman bagi kapal manapun yang nekat melewati padang Nebula tersebut.

Di tengah sebuah landasan yang berdiri menjulang di tengah gugus vegetasi taman alam Exaar, Tuan Mo duduk bersama dengan Pry Weir dan Pry A'nad. Tak jauh dari tempat mereka, Vulkan berdiri menyandar pada pagar beton mirip pembatas balkon rumah jaman klasik.

"Tidak terasa sudah lewat 20 tahun sejak pertemuan kita yang tidak di sengaja di Kharsmal," Pry Weir berujar dengan nada riang. "Ceritakan padaku, Mo. Apa yang kamu temukan di tempat monoton dan membosankan itu?"

"Tidak ada yang spesial, Pry," balas Tuan Mo sembari melempar senyum sehangat mungkin. "hanya artifak biasa dan yah ... beberapa koleksi memalukan raja Katarkhad. yang sempat hilang."

Dan mereka bertiga tergelak.

"Meski begitu, raja Katarkhad masih disegani kepahlawanannya oleh bangsa Kharsan," sambung Pry A'nad. "Tapi nama besar sang raja masih belum bisa mengalahkan heroisme yang ditinggalkan 'seseorang.'"

"Betapa beruntungnya orang tersebut mendapat pujian seorang Pry A'nad Yang Hebat," seloroh pria bercambang lebat itu sembari menatap lurus lawan bicaranya.

Kali ini hanya pria berbaju mekanik yang tergelak. Setelah itu ia berdiri dan beranjak sembari berkata, "Ada sesuatu yang terlupa. Sebentar akan kuambil."

Pria itu berjalan mengitari meja melewati belakang kursi Tuan Mo lalu berlanjut menyeberangi jembatan ambang menuju pintu otomatis di ujung. Sempat mengajak Vulkan yang berdiri menyandar pagar kecil jembatan ambang, tapi penolakan halus mengantarnya terus berjalan.

"Jadi, Mo," ujar lelaki berpenampilan rapi membuka topik baru, "kapal Konfederasi baru saja berangkat."

Satu info yang mampu mengagetkan pemimpin Kelompok Mata Bayangan itu. Tapi hal itu sudah masuk dalam langkah perencanaannya. Maka tidak terlihat dahi berkerut atau peluh menetes pada raut wajahnya. Ia hanya membalas singkat, "Oke."

Tanpa merubah posisinya yang menyandar santai, Pry A'nad melanjutkan, "Kau mainkan kartumu dengan baik menghadapi kami. Saya tidak tahu apa yang kamu bawa, tapi situasi tidak lagi memungkinkan menyatukan pendapat dewan Pry untuk membantumu."

"Saya sudah memahami situasinya, Pry," ucap Tuan Mo mengakui. "Saya hanya butuh waktu."

"Apa rencanamu?"

"V'cadd."

"Weir bisa membantumu untuk itu. Lalu bagaimana denganmu?"

Tuan Mo memajukan tubuhnya. Menumpukan siku pada meja bundar sambil menatap yakin lawan bicaranya. "Saya bersama anda dalam pertempuran."

Pry A'nad menghembus napas, berat. "Aku bukannya takut menghadapi perang. Yah, bagaimana pun semua tindakan kaum Eklets selama ini selalu beresiko konflik fisik dengan Aliansi. Tapi menghadapi pengepungan saat Raun Lahhad belum pulih ..." Kata-katanya mengambang. Kerutan di dahinya menunjukkan ia sedang berpikir keras.

EPIK; Semesta ParalelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang