16. Bersatu

1.1K 56 16
                                    

"Rel." Ale mengusap batu nisan Farel dengan sayang.

"Aku . . . tau ini juga bukan keinginan kamu. Tapi ini sudah diatur sama Tuhan," kata Ale seraya mengerjapkan matanya. "Tapi boleh gak sih aku egois?"

"Untuk mengharapkan kamu disini. Disamping aku. Menemani aku lagi, kayak dulu." airmata pertama Ale jatuh.

Dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.

"Ha, aku nangis lagi. Padahal aku udah janji sama kamu, kalau aku gak bakalan nangis kalau kesini. Maaf ya."

Ale tersenyum kecil, meskipun airmata nya masih berjatuhan.

"Maaf kalau selama ini aku egois, manja, atau ada bagian dalam diriku yang kamu gak suka. Maaf." Ale memejamkan matanya, bulir-bulir airmata yang lain meluncur.

"Kamu yang terbaik buat aku, tapi aku sadar, aku bukan yang terbaik buat kamu. Makasih udah nemenin aku selama ini," kata Ale, dia mencengkram batu nisan Farel.

"Aku akan berusaha menjaga kesetiaan ini. Kamu, yang tenang ya disana. Aku tau, kamu lagi ngeliatin aku dari atas sana.

"Oh iya, aku udah ketemu Aldrid sama Clarissa loh!" Ale menghapus airmatanya. "Nih, mereka juga ada disini. Segini dulu ya kita ngobrolnya, mereka juga mau ngobrol nih sama kamu. Aku, mencintaimu."

Ale mengecup batu nisan itu singkat, lalu berdiri, dan mundur, memberi tempat untuk Aldrid berbicara.

Aldrid berjongkok, lalu mengusap batu nisan Farel, seperti yang Ale lakukan. Matanya merah.

"Rel, lo tau gak sih? Lo itu sahabat terbaik gue. Lo sohib paling top lah. Tapi kenapa sih, lo malah pergi duluan?" Aldrid tersenyum tegar.

"Gue mau jujur-jujuran nih sama lo. Masih inget masa kecil kita? Lo inget saat karet kesayangan lo itu hilang? Sampe lo ngambek, mogok makan seminggu? Jujur ya, itu gue yang ngambil."

Aldrid mengeluarkan sebuah karet yang warnanya kusam, lalu menggenggamnya.

"Boleh gue simpen sebagai pengingat atas sahabat gue yang terbaik?"

Angin berhembus.

Aldrid tersenyum. "Gue anggap iya. Oh iya, ada satu rahasia lagi."

Aldrid menarik nafasnya. "Gue punya rasa sama Ale, tapi gue terlambat menyadarinya. Gue gak bakal ngerebut Ale dari lo kok, kalo dia nya sendiri juga gak mau. Gue gak mau maksa. Karena gue juga udah pernah nyia-nyiaiin dia.

"Maaf baru ngasih tau lo sekarang. Selama ini gue takut, sahabat dari orok gue, marah sama gue. Oh iya, lo gak perlu khawatir sama Ale. Karena, tenang, gue bakal ngejaga dia. Gue bakal berusaha buat memperlakukan dia, sebagaimana lo memperlakukan dia."

Aldrid tersenyum lagi, dia menguatkan hatinya.

"Sekali lagi, gue, Aldridge Gavriel, ngucapin makasih dan maaf.

Aldrid memanjatkan doa sebentar, berdiri, lalu mundur, memberikan tempat untuk Clarissa.

Clarissa berjongkok, lalu mengusap batu nisan Farel, seperti yang dilakukan Ale dan Aldrid tadi. Bekas airmatanya tampak jelas dipermukaan wajahnya.

"Hai. Aku tau, mungkin kita jarang ngobrol ya. Tapi gak tau kenapa, ada yang aneh saat aku sama kamu. Awalnya aku gak tau itu apa. Tapi akhirnya aku menyadari itu apa."

Clarissa menoleh ke Ale sebentar, lalu menatap nisan Farel lagi.

"Aku, suka sama kamu. Maaf gak jujur dari awal, karena kamu udah sama Ale. Aku gak mau mengusik kalian berdua lagi."

"Hhh, rasanya enak banget abis bilang gitu. Aku gak tau harus ngomong apa lagi, karena cuma itu yang pengen aku omongin."

Clarissa tersenyum. "Aku harap, kamu tenang disana. Selalu pantau kami dari atas yaa! Makasih udah nemenin kami bertiga selama beberapa tahun terakhir ini."

"Aku, Clarissa Adele, sedang mencoba untuk melupakanmu, karena aku tau, bahwa kamu bukan takdirku."

Clarissa memanjatkan doa sebentar, lalu berdiri.

"Udah enak kan ngeluarin semuanya?" tanya Aldrid.

Clarissa mengangguk. "Jadi kita pergi?"

Ale menggeleng. "Aku belum mau. Kalau kalian mau, duluan aja."

Ale berjongkok lagi, tapi ada tangan yang terulur padanya.

"Terserah kamu mau ambil uluran tangan ini atau engga. Tapi kalau kamu ambil, ini gak salah. Karena gak ada yang salah dari membantu orang," kata Aldrid.

Ale diam.

"Kamu tau kan, kalo aku cinta sama kamu? Jadi, kapanpun kamu udah merelakan Farel, kamu boleh menerima uluran tangan ini. Karena, kapanpun kamu butuh seseorang untuk membantu kamu berdiri, aku selalu siap."

Ale menarik nafasnya susah payah, lalu menghembuskannya perlahan.

Dia tersenyum.

"Aku bukan tipe orang kebanyakan, yang gak percaya dengan cinta lagi, setelah ditinggalkan. Aku masih percaya pada cinta, meskipun Farel udah ninggalin aku," kata Ale.

"Aku memang masih menjaga kesetiaanku pada Farel, tapi kalau dia memang bukan takdirku, artinya aku juga harus mencoba melupakannya, kan?" kata Ale lagi, Aldrid menatapnya lekat-lekat.

"Aku tetap melindungi kenanganku bersama Farel, tapi bukan berarti hidupku selamanya akan berpusat pada kenangan itu. Life must go on, right? Jadi," kata Ale seraya tersenyum, "aku menerima uluran tangan kamu."

Ale meletakkan tangannya diatas tangan Aldrid, dan langsung ditarik Aldrid agar Ale berdiri.

"Makasih," kata Aldrid. "Udah ngasih aku kesempatan."

Ale tersenyum. "Aku gak janji bisa cepet ngelupain Farel. Yang pasti, saat itu tiba, aku sudah bersama orang yang tepat, kuharap."

Aldrid balas tersenyum. Akhirnya mereka berjalan bergandengan, meninggalkan Clarissa yang sepertinya menemukan takdirnya.

"Tindakanku benar kan, Rel?"

"Bantu gue, Rel, untuk ngebuat dia nyaman disisi gue."

"Rel, sepertinya aku sudah menemukan orang lain, yang merupakan takdirku."

End!

22 April 2014ㅡ17:50 PM

**

hii! endingnya gimana nih? gak sad" amat kan? haha! awalnya bukan begini loh.

awalnya itu, mau ngebikin gini: Aldrid dan Clarissa pergi, meninggalkan Ale yang masih berusaha melupakan Farel. eh, tp gak jd deh :d

makasih ya buat hujan votes, comment nya, dan yg udah add ke reading list nya! tanpa kalian, pasti udah gue delete cerita ini.

Okay, gue harap part ini memuaskan yaa{} gue harap feedback nya loh;)

baca cerita gue yg lain ya? ;d

1. Why Should Me? [Finished]

Amanda selalu berpikir, kenapa ini semua terjadi padanya.

2. Unexpecated [Finished]

Kata orang, hidup itu dibawa santai aja. Tapi ini gak bisa buat Viola Evelyn. Dia masih remaja, masih labil, tidak mengerti akan arti menghadapi dunia. Tetapi mengapa hidupnya seakan memaksanya untuk menentukan sesuatu yang cukup penting?

3. Hello Goodbye [On-going]

Orang-orang berucap, ada Hell di dalam kata Hello. Nathaniel tidak setuju dengan perkataan itu. Karena sapaan itu mengubah hidupnya menjadi lebih berwarna.

Orang-orang bertanya, di mana Good di dalam kata Goodbye? Armelle tidak setuju. Karena ucapan perpisahan itu membuatnya bertambah kuat tiap detiknya.

akhir kata, makasih buat yg udah mau baca sampe sini. feedback kalian ditunggu loh^^

smg memuaskan!{}

cathlinewidley.

Believe in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang