bagian 29

345 27 2
                                    

EPILOG

Sebulan berlalu, semua kembali menjalankan aktifitasnya seperti semula meskipun suasana duka masih belum sepenuhnya hilang dirumah itu. Khairul nampaknya masih belum terbiasa, ia pun melampiaskan kesepiannya dengan bekerja tak kenal henti. Karena dengan cara itu, ia tak selalu memikirkan rasa penyesalannya terhadap mendiang gadis kecilnya. Rafael tengah berkemas, ia ingin kembali ke Italia. Menjalankan kembali bisnis nya yang sudah ia tinggalkan cukup lama, memulai kembali kehidupannya tanpa sosok Anna disisinya.

Rafael masuk kedalam kamar Anna, ingin melepas rasa rindu itu sekali lagi sebelum ia kembali pulang ke Italia. Ditatapnya ruangan kosong yang masih terasa sangat hangat, kakinya melangkah pada bingkai foto yang terdapat diatas meja belajar Anna. Itu adalah foto Anna saat mengenakan seragam Sekolah dengan senyum lebar yang tercetak jelas diwajahnya.

Rafael mengusap foto yang sedikit berdebu itu, "Kamu tahu Anna ? Kupikir takdir adalah hal yang paling romantis, karena telah mempertemukan aku dengan kamu dengan cara yang tak terduga." Rafael tersenyum ketika membayangkan awal pertemuannya dengan Anna,

"Tapi kini aku sadar, takdir juga telah bersikap kejam karena telah memisahkan kita dengan kematian. Jika jarak ratusan mil yang menjadi pemisah, aku akan tetap berusaha menggapaimu meskipun dengan cara merangkak."

Kini tangan Rafael membuka laci, dan mendapati buku catatan yang pernah diberikannya pada Anna. Dibukanya satu persatu lembaran buku itu dan mulai membacanya,

Satu hal yang baru aku ketahui, Rafael menyukai anak-anak. Ia membangun sebuah panti asuhan disuatu tempat yang aku sendiri tak tahu dimana itu. Yang aku tahu, dia..... istimewa.

Venesia adalah tempat yang takkan pernah mau aku lupakan, selagi aku ingat aku ingin menulisnya disini. Sebelum penyakit itu menyerang semua memori ingatanku.

Rafael memergokiku memasuki garam berkali-kali kedalam masakanku. Aku senang, disaat aku berada dititik terapuh seperti ini, ia tak pernah meninggalkanku.

Lagi-lagi aku melupakan dimana letak kamar mandi dan pintu keluar,

Penyakit ini semakin menggerogoti ingatanku, banyak hal yang tak ingin aku lupakan. Buku ini sama sekali tak membantuku mengingat apapun yang telah kutulis.

Obat ini terlalu besar, membuatku kesulitan tiap kali aku meminumnya. Kurasa aku ingin menyerah, tapi aku benar-benar tak ingin melupakan Mas Irul juga Rafael.

Rafael mengernyit, sedikit sulit memahami apa yang ditulis Anna. Tulisannya semakin lama semakin tak beraturan dan sulit dipahami. Beberapa huruf tertukar dan terbalik. Tapi Rafael paham apa yang dimaksud Anna,

Satu hal yang ingin aku tanyakan, apakah jika aku mati nanti ingatanku akan kembali ?

Itu adalah tulisan yang terakhir, tulisan Anna terhenti disitu. Halaman demi halaman kosong masih terus dibuka Rafael, berharap ia menemukan tulisan lainnya. Dan benar saja, dibagian akhir buku itu terdapat kertas yang dilipat kecil, dengan segera Rafael membuka dan membaca tulisan itu.

Hi...

Aku yakin kamu akan membaca ini suatu saat nanti, meski aku tak tahu kapan kamu akan membacanya. Mungkin disaat aku telah melupakanmu, atau bisa juga saat aku telah pergi meninggalkanmu.

Ada hal yang tak bisa kujelaskan lewat ucapan, makadari itu aku menuliskan surat ini untukmu sebelum aku melupakan segalanya.

Aku ingat betul saat pertemuan kita beberapa waktu lalu, kepribadianmu membuatku jatuh cinta padamu. Aku tak tahu, apakah itu adalah cinta yang sesungguhnya atau hanya sekedar omong kosong belaka hanya karna aku tersakiti oleh perasaanku sendiri.

El.... Aku tahu, cepat atau lambat penyakit ini akan merenggut kehidupanku. Siap atau tidak, mau atau tidak, aku akan mati secara perlahan.

Aku benci pada hidupku yang menyedihkan,

Aku benci saat Ibuku dibunuh ayahku sendiri,

Aku benci saat ayahku pun mati karena dibunuh orang yang berusaha menyelamatkan hidup ibuku,

Aku benci saat Mas Irul memilih wanita lain ketimbang diriku,

Aku benci takdir, sangat amat membencinya. Kenapa dia selalu saja mampu menjungkir balikan duniaku disaat semua terasa baik-baik saja ? aku hancur saat kecil, Mas Irul yang membantuku bertahan dalam kehancuran. Aku rapuh disaat aku merasa disakiti oleh perasaanku sendiri, dan kamu datang dengan segala hal yang mampu membuatku terobati akan rasa sakit itu.

Kamu tahu El ? kamu adalah satu-satunya kehendak takdir yang tak dapat kubenci.

Rafael mengusap setetes air mata yang keluar dengan jarinya. Perasaan senang menyelubungi hatinya saat tahu ternyata Anna membalas perasaan Rafael. Ia pun kembali memasukan buku catatan itu kedalam laci, tapi tidak dengan surat itu. Surat itu dimasukannya kedalam saku, juga bingkai yang berisi foto Anna pun dimasukannya kedalam koper.

Ia melirik jam tangannya, satu jam lagi pesawatnya akan berangkat. Ia pun menarik koper itu keluar dari kamar Anna dan pergi meninggalkan rumah yang memiliki banyak kenangan bersama Anna.

Rafael melajukan mobilnya, tapi tidak langsung kebandara. Pemakamanlah tujuannya saat ini, ia ingin mengunjungi makam Anna untuk berpamitan.

Rafael meletakan sebucket bunga mawar biru kesukaan Anna yang sempat dibelinya dijalan, lalu mengusap batu nisan yang bertuliskan nama orang yang sangat dicintainya tersebut.

"Aku senang, pada akhirnya aku tahu jika kamu ternyata memiliki perasaan padaku. Walaupun aku telat mengetahuinya." Rafael tersenyum,

"Aku mencintaimu, lebih dari yang kamu tahu. Hanya saja aku tak bisa dan tak tahu bagaimana cara menunjukannya padamu. Anna...."

Rafael sedikit menggantung ucapannya, "Mencintaimu adalah anugrah, bisa bertemu dan mengenalmu adalah takdir yang sangat indah."

"Aku harap kita akan bertemu kembali dialam yang sama, dengan keadaan perasaan yang sama. Tunggu aku, sayang."

Rafael bangkit, berjalan meninggalkan seseorang yang kini telah menjadi masa lalu dan memulai kehidupan baru untuk menyusul masa depannya bersama Anna, dialam sana.

END.

Destiny [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang