Tiga bulan sudah sejak Arza meninggalkan rumah untuk menjalani pendidikan di Lembah Tidar, Magelang. Asya sendiri sudah kembali beraktivitas di sekolah, bahkan dia dihadapkan oleh beberapa try out minggu lalu. Rasa-rasanya Asya ingin menangis setiap kali melihat jejeran nilai hasil ulangan harian dan juga try out yang dipajang di kantin oleh pihak sekolah. Memang seperti itu aturan di sekolahnya untuk siswa kelas dua belas. Hal itu dimaksudkan untuk membangun mental yang kuat atau agar para siswa yang berada di deretan bawah nilai termotivasi untuk belajar lebih giat. Well, it works! Asya hampir tiap hari datang ke bimbingan belajarnya untuk sekadar bertanya soal latihan fisika ataupun matematika. Kedua pelajaran yang menurut Asya, dia paling bodoh di kedua pelajaran itu. Rasanya suntuk sekali setiap hari hanya dikelilingi kertas ini dan itu. Tiara yang biasanya hang out bersama dirinya pun juga ekstra belajar. Membuat Asya mau tidak mau mengurungkan niat untuk mencuri waktu sekalian menyegarkan pikiran. Untunglah, dia bisa bernapas sedikit, melepas diri dari sibuknya sekolah walau hanya sesaat.
Asya dan keluarganya kini menuju ke rumah Eyangnya, yang merupakan orangtua dari Gibran, sang Papa. Jogjakarta tempat yang akan mereka tuju. Asya juga mengajak Mbah Putri dari Mamanya untuk ikut serta dalam perjalanan mereka. Dengan ini, mereka dapat bersilaturahmi. Selain itu, mereka juga akan turut serta untuk menengok Arza keesokan harinya. Arza yang tiga bulan telah dididik di Akademi Militer akhirnya usai melaksanakan masa latihan dasarnya, untuk mengakhiri masa pendidikan dasar, biasa dilaksanakan dengan Wisuda Jurit. Esok hari juga akan menjadi hari pertama Arza mendapatkan pesiar.
"Assalamualaikum, Eyang Kakung! Asya kangen, Eyang." Asya langsung berlari sambil membawa lapis kukus dan menghambur ke pelukan Eyang Kakungnya. Eyang Kakung hanya tersenyum dan membelai kepala Asya yang tertutupi hijab.
"Eyang Kakung aja tho yang dikangenin?" tanya Eyang Putri. Asya langsung menggenggam tangan Eyang Putrinya dan menciumnya dengan gemas.
Asya juga menciumi pipi sang Eyang Putri, "Tumben ini Eyang Putri kangen Asya, biasanya Arza yang dikempit dipeluk," protesnya.
Eyang Putri berusaha menjauhkan wajah Asya untuk menghentikan serangan ciuman dari cucunya. Mbah Putri Asya tergelak tawa menyaksikannya. "Udahan, Nduk. Eyangmu geli itu lho," ucap Mbah Putri.
Asya hanya dapat meringis malu. Tangannya mengulurkan sesuatu kepada Eyang Kakungnya, "Lapis kukus kesukaan Eyang Kakung,"
***
Jika ditanya apakah Asya merindukan Rayhan? Asya akan dengan semangat menganggukkan kepalanya. Dia kira pacaran akan membuat kehidupannya yang dulu-dulu sebagai jomblo bakal berubah drastis. Nyatanya tidak. Dia yang dulunya tidak mau terlalu bergantung diri dengan cowok ternyata dapat bermanfaat ketika berhubungan dengan Rayhan. Mengapa seperti itu? Jelas karena kedekatan mereka tidak seperti pasangan lainnya yang dapat bertemu tiap minggu dan bertukar sapa lewat telepon sepanjang malam. Dalam tiga bulan hubungannya kali ini, hanya beberapa kali Rayhan meneleponnya dan berkirim pesan. Untunglah Asya tidak seperti remaja labil yang minta dikabari setiap hari. Dia bisa mengerti kesibukan Rayhan. Terlebih lagi, Rayhan yang di tingkat tiga atau sersan mayor dua taruna itu sedang sibuk-sibuknya mengikuti lomba uji kekuatan fisik. Bukan tanpa sebab Rayhan melakukannya, dia ingin menjadi lulusan terbaik atau Adhi Makayasa saat dilantik tahun depan.
"Dek, ndang beres-beres, tho." Seru Kila, Mama Asya, menyadarkan lamunan Asya sedari tadi.
[Dek, cepat beres-beres, dong.]
Asya kemudian mengemas peralatan make up-nya dan bergegas menyabet tasnya yang berisi dompet dan kamera. Tak lupa dia membawa serta buket bunga untuk kembarannya, Arza. Dirinya tak tampil menor meskipun make up yang dia kenakan lebih banyak dibanding kesehariannya. Hanya saja kali ini dia memakai matte foundation karena dia tidak ingin mukanya terlihat berminyak, apalagi nanti terik matahari akan sering menyapanya. Dia hanya ingin riasannya rapi dan tidak awut-awutan, tetapi tidak juga menor dan tebal seperti akan ke kondangan. Dengan hijab warna biru dongker, atasan fringe sweater berwarna kuning, juga celana kulot krem pastel, Asya sudah siap menemui kembarannya yang sangat dirindukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Would You Still Love Me The Same?
RomanceAsya Shakila Gibran Cewek berpipi gembul yang hidupnya nggak mau menye-menye kayak perempuan yang biasanya ada di novel romansa. Asya nggak pernah kepikiran buat nyari pacar. Kalaupun kepikiran, pasti seleranya yang ganteng, orang kantoran, berint...