Chapter 10

126K 10.5K 1.3K
                                    

"Manusia memang seperti itu. Menghancurkan masa kini sambil mengkhawtirkan masa depan. Lalu menangis di masa depan sambil menyesali masalalunya."

____________

SAYA memilih pulang karena saat itu saya kira Nafisya tidak ada di rumah. Melihat gerbang tidak dikunci saya langsung yakin anak itu belum berangkat ke kampus. Kalau tahu dia masih ada di rumah, saya lebih memilih opsi kedua yang Albi ajukan untuk opname.

"Assalamu'alaikum," kata saya ketika melintasi ruang tengah, saya menaruh tas saya di samping sofa. Sebisa mungkin saya menyembunyikan wajah saya, agar tidak terlihat oleh anak itu.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah, tumben pulang jam segini? Ada yang ketinggalan, Pak?" tanyanya. Suara air mengalir memberi tanda bahwa dia sedang mengerjakan sesuatu di dapur.

Ketika hendak menaiki tangga menuju lantai atas, tak sengaja kami malah bertatapan. Luka di dalam hati masih bisa saya sembunyikan, tapi bagaimana mungkin saya bisa menyembunyikan luka memar yang jelas-jelas terlihat.

Melihat keadaan saya yang babak belur, Nafisya yang selama ini sangat menghindari kontak fisik tiba-tiba saja meninggalkan pekerjaanya. Dia mengeringkan tanggannya lalu terburu-buru menghampiri saya dan memegang wajah saya.

"Wajah Pak Alif kenapa lebam-lebam gini?" katanya penuh rasa cemas. Saya mencoba untuk tersenyum singkat.

"Saya jatuh dari tangga," jawab saya terdengar konyol.

"Udah deh, Pak Alif nggak usah bohong sama Fisya! Ini bekas pukulan, kan? Rachel sering banget dapet memar kayak gini kalo udah turnamen taekwondo. Siapa yang berani pukulin Pak Alif? Kenapa bisa sampai luka-luka kayak gini sih?" tanyanya mendesak, seperti akan menghakimi siapa saja pelakunya.

"Kita bahas nanti ya? Saya capek ..." kata saya memelas. Mendengar itu mata elang yang menusuk itu kembali menjadi mata bidadari yang menyejukan. Napasnya berhembus, seolah kata-kata saya tadi memaksanya untuk berhenti khawatir.

Mungkin bagi perempuan, bercerita membuat mereka merasa dianggap penting dan meringankan beban. Tapi bagi laki-laki, bercerita membuat mereka merasa takut di cap lemah karena tidak bisa menyelesaikan masalah sendiri.

"Ya Udah, Pak Alif naik ke atas terus istirahat ... Fisya buatin makanan sama kompresan dulu," suruhnya, saya menurut. Menaiki satu persatu anak tangga rasanya seperti berjalan diatas pecahan kaca, sakit sekali.

Saya langsung melepas sepatu dan kaos kaki yang saya kenakan lalu duduk menyender di atas tempat tidur. Tak lama Nafisya membawa ice bag berisi balok-balok es dan menempelkannya pada bagian wajah saya yang berwarna ungu.

"Pak Alif bisa pegang ini sebentar? Fisya mau ambil kotak P3K dulu," katanya dan bergegas pergi ke luar. Saya hendak melarangnya namun dia langsung pergi lagi tanpa memberikan saya kesempatan untuk bicara.

"Sya, jangan lari-lari di tangga ...," teriak saya ketika mendengar suara hentakan kaki begitu cepat bagai tidak memiliki trauma sama sekali.

Dia pernah terkilir karena mengira anak tangga yang di injakanya adalah anak tangga terakhir padahal masih ada dua anak tangga lagi. Karena kakinya sakit, akhirnya saya yang tidak tidur karena menggantikannya mengerjakan tugas.

Salah satu hal tanpa pertimbangan yang pernah saya lakukan. Bodoh memang, kakinya yang sakit bukan tangan. Harusnya dia masih bisa mengerjakan tugas. Namun karena tidak tega melihatnya meringis sambil menatap layar laptop, akhirnya saya bantu juga.

Nafisya kembali dengan kotak yang dimaksudnya dan segelas susu hangat. Dia hendak mengelurakan kapas untuk membersihkan luka yang mengeluarkan darah.

"Udah dibersihin pake alkohol sama Albi, udah pake heparin sodium gel juga. Ini cuma memar biasa kok, nanti juga sembuh dengan sendirinya," potong saya.

"Kalo gitu coba buka kemejanya. Pasti memarnya nggak cuma di wajah sama di lengan aja kan?" katanya penuh keraguan.

Jelas jika bukan kondisi yang memaksa, Nafisya tidak akan pernah berkata seperti itu. Setiap melihat saya keluar dari kamar mandi saja dia lebih sering melarikan diri atau pura-pura menatap ke arah lain.

"Nanti aja, saya bisa sendiri ...," kata saya sembari melepaskan kapas itu dari tangannya lalu menaruhnya.

"Diminum susunya, terus tidur. Fisya bikinin bubur pas Pak Alif bangun nanti ya?" Selama dua tahun ini saya hampir tahu banyak hal tentang Nafisya, tapi sepertinya dia tidak tahu apapun tentang saya.

"Saya nggak suka minum susu, Sya. Saya suka mual kalo minum susu. Kamu aja yang minum susunya. Kamu gak usah bikin bubur, saya nggak punya masalah sama pencernaan," jawab saya sebari menarik selimut untuk menutupi tubuh.

"Terus apa yang bisa Fisya lakuin buat meringankan rasa sakitnya? Lebih baik Pak Alif nggak usah pulang daripada pulang dengan keadaan kayak gini!" katanya hampir menangis, ada sesuatu yang tertahan diujung matanya. Saya kembali duduk ketika melihat kilatan kaca di matanya itu.

Saya yang sakit, tapi dia yang menangis.

Kerap kali saya merasa senang setiap kali melihat Nafisya khawatir. Tapi di bagian terdalam hati saya, saya merasa takut. Khawatir kalau dia melakukannya hanya sebatas kewajibannya sebagai seorang istri.

Terkadang saya bingung, perhatian kamu itu sebuah gurauan atau ungkapan perasaan?

"Boleh, saya peluk kamu sebentar?" Otak saya hilang kendali, kata-kata itu terucap begitu saja tanpa bisa saya kontrol.

Tanpa mengiyakan Nafisya menautkan kedua lengannya ke leher saya untuk memeluk saya dengan erat. Sesuatu yang sepertinya akan membuat beban suami manapun terasa ringan. Sambil berusaha berhenti menangis dia mengatakan sesuatu tepat di samping telinga saya.

"Jangan pulang dengan keadaan kayak gini lagi. Fisya beneran khawatir..." katanya terdengar begitu dekat.

"Saya nggak bermaksud membuat kamu khawatir. Manusia memang seperti itu, Sya. Menghancurkan masa kini sambil mengkhawtirkan masa depan. Lalu menangis di masa depan sambil menyesali masalalunya," kata saya mencoba meredakan tangisnya.

Tiba-tiba saja dering handphone saya terdengar dari atas nakas. Nafisya melonggarkan pelukannya untuk bangkit mengambilkan benda tersebut. Dia menatap nama yang tertera di layar handphone saya, dirinya mematung sebentar sebelum menyerahkan handphone itu.

"Telepon dari siapa?" Tanya saya karena dia tidak kunjung menyerahkannya.

"Dari Kak Hana," katanya, baru menyerahkannya pada saya.

"Fisya lanjutin kerjaan Fisya dulu di bawah ya. Kalau Pak Alif perlu sesuatu panggil Fisya aja..." katanya lalu pergi meninggalkan saya.

Ada mimik wajah Nafisya yang sulit saya terjemahkan saat itu. Sorot redup yang membuat saya menduga-duga. Dia tersenyum namun terkesan kaku dan dipaksakan.

_____________

Betapa bodohnya manusia, dia menghancurkan masa kini sambil mengkhawatirkan masa depan. Tapi menangis di masa depan dengan mengingat masalalunya.

(Ali bin Abi Thalib)

_____________

Tag me @ima.madani or @mor.fem if you share something from this story.

Follow juga akun wattpad ini supaya dapet notifikasi update.

Jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan utama.


Wa'alaikumussalam Pelengkap Iman ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang