Chapter 13

101K 9.5K 727
                                    

"Rasa kecewa itu adalah cara terbaik Allah untuk menyelamatkan kamu dari orang dan keadaan yang salah."

______________

SAYA mencari Albi, dia menghilang setelah kami mengadakan briefing sekilas di ruang depan tadi. Albi menjadi sangat pendiam sekali, menjawab pertanyaan pun seperlunya. Suasana hatinya berubah drastis setelah kedatangan Kaina. Saya melihat Albi meninggalkan tempat lebih dulu. Seberapa besar sumbangan idenya, sama sekali tak berarti apapun di mata seorang ketua komite itu.

Profesor Adnanto tidak bisa menghadiri acara besok pagi dan mempercayakan semuanya kepada saya. Dia datang hanya untuk mengantarkan putrinya untuk menjadi perwakilan dalam acara Chilhood Cancer Fondation kali ini.

Rupanya Albi baru saja mengeluarkan kotak yang isinya mainan dan pakaian baru dari bagasi mobilnya. Ketika melihat saya, arah langkahnya langsung berubah percis seperti orang yang sedang menghindar.

"Albi ..." panggil saya.

"Bi, jangan marah dulu sama saya." Suara saya sedikit keras saat itu.

"Siapa yang marah sih, Lif? Gue nggak marah juga. Gue udah pernah bilang kan? Gue gak bakalan sampai dirawat psikiater cuma gara-gara Kaina," katanya mencoba untuk terlihat biasa, walau kenyataanya menoleh pada saya saja tidak dia lakukan.

"Terus kenapa tiba-tiba nggak mau bicara sama saya? Jelas-jelas kamu menghindar," kata saya.

"Gue cuma butuh waktu, Lif. Gue butuh waktu buat nerima kalo Kaina itu sukanya sama lo, bukan sama gue. Lo yang diharapkan dia dan lo yang di harapkan bokapnya. Jelas?" katanya, gaya bicaranya benar-benar menunjukan dia sedang marah.

"Oke, saya paham kamu perlu waktu, tapi saya juga butuh sikap professional kamu. Gimana acara ini bisa berlangsung kalau komunikasi kita nggak lancar? Lagian saya udah punya istri, Bi. Apalagi yang harus kamu khawatirkan?" kata saya.

"Hati bisa berubah dalam hitungan detik. Tapi untuk merubah hati itu perlu ribuan detik, Lif. Lo memang nggak ada masalah apapun sama gue, tapi gue yang bermasalah. Dibandingkan sama lo, gue siapa sih? Lulusan luar negeri aja bukan. Lulusan dengan predikat cumlaude? Apalagi."

"Gue cuma dokter dari universitas swasta yang berharap bisa menyaingi seorang Alif. Itulah kenapa gue milih diem. Gue nggak pernah benci sama lo, gue benci sama diri gue sendiri yang nggak bisa kayak lo. Lo bisa mengandalkan diri lo sendiri tanpa bantuan gue, Lif!" katanya dengan nada tidak suka.

Saya menghela napas. Perlakuan Profesor Adnanto memang sedikit berlebihan pada Albi, terlebih ketika tahu pria ini menaruh hati pada putrinya. Sebelum ada saya, Kaina sempat menyukai Albi. Mereka dipertemukan karena jobdesk yang sama di divisi bedah.

"Dengerin saya ... Rasa kecewa itu adalah cara terbaik Allah untuk menyelamatkan kamu dari orang dan keadaan yang salah," kata saya lirih.

"Jalani hidup sesuai dengan apa yang Allah kasih, nggak perlu jadi orang lain, Bi. But, not be yourself. Be the best for yourself. Kejadian tadi harusnya bikin kamu sadar. Sesempurna apapun Kaina, dia punya nilai minus untuk dijadikan pendamping hidup, sekalipun prestasi akademiknya bagus."

"Sayangnya praktek selalu lebih sulit dari teori, Lif. Bisa lo ngehapus nama dari otak padahal adanya di hati?" elak Albi.

"Hati bisa berubah meski perlu ribuan detik. Itu yang kamu bilang tadi, kan? Asal niatnya kuat. Membalikan hati itu semudah membalikan telapak tangan bagi Allah. Bahkan jaringan terkecil tubuh kita aja Allah yang kendaliin, apalagi cuma hati manusia." Albi termenung, mencerna semua perkataan saya.

Wa'alaikumussalam Pelengkap Iman ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang