Chapter 11

109K 9.4K 781
                                    

"Orang hebat itu bukanlah orang yang bisa berbuat baik pada orang lain. Tapi orang yang mampu berbuat baik pada orang yang bersikap tidak baik padanya."

______________

AKAN ada fase dimana kita terus bertanya-tanya, tentang kesalahan apa yang kita perbuat sampai orang-orang menyalahkan kita. Sampai akhirnya kita merasa menjadi paling benar dan beranggapan merekalah orang yang salah. Itulah yang terjadi pada saya sekarang.

Yang paling saya takutkan adalah saya merasa paling benar, sampai tidak bisa melihat kebenaran yang orang lain tunjukan. Kami sudah seperti siswa nakal yang dipanggil guru BK karena berkelahi. Duduk berdampingan di depan manager pelayanan medis tanpa saling ingin menatap.

"Alif kan udah saya kasih sanksi, dia juga udah minta maaf. Dia gak diperkenankan masuk OK selama dua bulan kedepan. Apa itu gak cukup?" kata Profesor Ishak pada Hilman yang sedari tadi urat lehernya menegang.

Ego saya untuk tidak pernah meminta maaf karena merasa tidak melakukan kesalahan, pada akhirnya runtuh oleh penjelasan Nafisya yang menceritakan kisah Shafiyah Binti Huyay. Kisah dimana Nabi meminta maaf selama berjam-jam lamanya atas terbunuhnya ayah, suami dan semua keluarga Shafiyah yang meninggal dalam perang Khaibar.

Karena Nafisya terus saja mendesak saya untuk bercerita, kemarin saya menceritakan semuanya pada Nafisya. Dari awal bagaimana saya bisa bermasalah dengan Hilman sampai kejadian apa yang membuat sekujur tubuh saya penuh dengan lebam biru.

"Jadi kamu mau saya minta maaf sama Hilman, berjam-jam lamanya sampai Hilman jatuh hati sama saya? Sama kaya Shafiyah yang akhirnya luluh dan jatuh hati sama Nabi?"

"Ya nggak sampai jatuh hati juga ... Dokter Hilman kan laki-laki. Bapak mau ngumpulin followers laki-laki juga?"

Setegang apapun suasana disini, potongan percakapan tersebut membuat saya kembali mengukir senyum. Tiga hari istirahat di rumah, saya bisa jadi sejarawan ketika mendengar kisah-kisah sejarah yang Nafisya tuturkan. Kadang Nafisya itu bisa bersikap lebih dewasa dari saya ketika menghadapi masalah seperti ini.

Berdamai dengan ego itu sama beratnya dengan meminta maaf pada musuh. Sungguh, orang hebat itu bukanlah orang yang bisa berbuat baik pada orang lain. Tapi orang yang mampu berbuat baik pada orang yang bersikap tidak baik padanya.

"Saya ingin bapak bersikap independen dan menetapkan hukum sesuai tempatnya! Beri Alif sanksi tertulis, gak cuman dilarang masuk OK aja. Nanti dia malah keenakan ngurangin kerjaan!" kata Hilman masih dengan suara tinggi.

Napas saya berhembus begitu saja, hukum sesuai tempatnya? Ya, saya tahu saya salah. Saya telah melanggar kode etik kedokteran tentang kewajiban terhadap teman sejawat. Yaitu tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat kecuali dengan persetujuan dan berdasarkan prosedur yang etis. Tapi bolehkah saya mengajukan laporan penganiayayaan terencana dan pencemaran nama baik setelah insiden di parkiran kemarin?

Saya berulang kali mengucapkan kalimat istigfar di dalam hati, jika saya menyalahkan orang lain hanya karena mereka tidak sependapat dengan saya. Bukankah saya yang harus mengoreksi diri? Mungkin bukan mereka yang salah, tapi hati saya yang bermasalah.

"Saya bukan Rasulullah Sya ... yang dengan sikap rendah hatinya bisa minta maaf sama Shafiyah atas apa yang bukan dilakukannya. Saya nggak bisa kayak Nabi yang habis di dimaki dan dihina habis-habisan tapi masih bisa berbuat baik pada orang yang melakukan," kata saya

"Ya jelas nggak akan bisa lah. Sama kayak Pak Alif yang minta Fisya jadi seperti Fatimah dulu. Sampai kapanpun Fisya nggak akan pernah bisa menjadi perempuan seshalehah Fatimah yang bahkan tersenyum ketika mendengar dia akan menyusul pergi setelah wafat ayahnya."

Wa'alaikumussalam Pelengkap Iman ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang