"Jika kamu mendapati saya marah, tolong maafkanlah saya. Jika saya mendapati kamu marah, saya telah memaafkan kamu lebih dulu. Bukankah begitu cara agar kita saling memahami?"
____________
"COME on man! Nafisya itu istri lo. Dia itu perempuan dan lo tega nyuruh dia pulang sendirian malem-malem gini? Ini di luar kota, Lif! Logika lo ditaro dimana sih? Lo udah gila ya?" Albi habis-habisan memaki saya ketika tahu Nafisya memilih pulang dan saya membiarkannya pulang sendirian.
"Acaranya baru mulai besok pagi, Bi. Dia yang nggak paham, harusnya dia tahu saya punya tanggung jawab besar sampai acara ini selesai." Saya membela diri. Hampir lima belas menit Nafisya meninggalkan tempat ini.
"Jadi besok pagi lo lebih milih nerima kabar dari polisi kalo ada apa-apa sama Nafisya? Begitu?" tanyanya.
"Percuma laki-laki punya kesabaran banyak, tapi nggak paham fitrahnya perempuan kayak lo. Gue respect sama lo karena lo paham agama. Disaat kayak gini, agama lo kemana?" sambungnya semakin membuat saya mengusap wajah penuh penyesalan.
Saya tahu, keputusan saya salah, sangat salah. Saya kira dengan membiarkannya pulang sendirian, gadis itu akan menyerah. Dia tidak akan berani pulang sendirian dan memutuskan untuk tinggal setidaknya sampai besok pagi. Sekarang, dia nekat pergi sendirian dan saya tidak tahu harus bagaimana.
"Malem ini juga, cari Nafisya sampai ketemu! Buat sementara gue handle semua disini. Anterin dulu dia pulang, besok siang lo bisa balik lagi kesini tanpa Nafisya," kata Albi. Tanpa berpikir lama mendengar itu saya langsung beranjak untuk mengambil kunci mobil dan handphone.
"Thanks ya, Bi," kata saya menggunakan jaket sebelum akhirnya terburu-buru pergi.
Sepuluh menit berlalu, sepanjang mengemudi, mata saya meneliti setiap inci jalan yang saya lewati, dia tidak mungkin berjalan jauh. Tapi bagaimana jika dia sudah memesan taxi? Saya mencoba menghubunginya beberapa kali, tapi nomernya selalu saja sibuk. Entah dia menolak panggilan saya atau sengaja mematikan handphonenya.
Dimana kamu Nafisya? Tolong angkat panggilan saya.
Mata saya berhasil menangkap sosoknya yang duduk di halte bus tepat diperbatasan menuju jalan raya. Saya langsung menepikan mobil lalu keluar dan berjalan ke arahnya. Teleponnya sibuk karena dia tengah menghubungi seseorang. Tepat ketika saya akan memanggilnya, sesuatu menahan langkah saya untuk tidak melanjutkannya.
Sambil terus menangis Nafisya berbicara pada seseorang di telepon.
"Ji-jidan ... Fi-fisya takut ..." katanya terisak, itu kalimat pertama yang saya dengar.
Pernah merasakaan pembedahan tanpa pembiusan terlebih dahulu? Hati saya merasakan hal yang lebih sakit dari itu. Sampai kapan pun Jidan akan tetap jadi prioritas utama dalam hidupnya Nafisya. Panggilannya sibuk karena dia sedang menghubungi pria lain, pria yang dicintainya belasan tahun itu.
Udara seolah menjauh dari saya sampai rasanya saya mengalami kesulitan bernapas. Saat itu saya ingin mengeluarkan spuit dan menyuntikan analgetik sebanyak-banyaknya agar rasa sakit ini hilang dengan cepat.
"Kamu kenapa Sya?"
"Kak Salsya di mana?"
"Salsya? Dia... Dia udah tidur. Ada apa Sya? Kamu kenapa nangis? Kamu baik-baik aja kan?"
"Fisya cuma mau bicara sama Kak Salsya sekarang."
"Aku udah bilang dia baru tidur, dia baru minum obat. Kamu kenapa? Jangan bikin aku khawatir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wa'alaikumussalam Pelengkap Iman ✔
Spiritual(Sudah terbit, bagian tidak lengkap.) Jika memang yakin Allah maha membolak balikan hati, lantas mengapa masih mengemis cinta manusia? Hal itu yang membuat Alif enggan membahas perkara jodoh dan pasangan hidup. Semuanya buyar ketika hidupnya mulai d...