"Menyenangkan hati orang lain meski dengan hati penuh ketidakrelaan adalah hal kecil yang mungkin bisa menarik saya ke surga."
_____________
JAM lima pagi tepat setelah adzan subuh dikumandangkan kami bisa sampai di rumah. Nafisya keluar membawa ranselnya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Entah suasana apa yang sedang menyelimuti kami, ini semacam perang dingin. Tidak ada yang mau lebih dulu berbicara sebelum ego kami mencair masing-masing.
Saya melirik jam tangan. Kalau saya berangkat lagi jam enam itu artinya saya bisa sampai sekitar jam sepuluh di Yayasan. Saya bisa ikut setengah acaranya. Tapi kantuk saya benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Sampai di rumah dengan keadaan selamat saja sudah menjadi hal yang sangat saya syukuri.
Memasuki ruang tamu, tubuh saya langsung terjatuh di sofa depan. Kaki saya terasa pegal karena terlalu lama ditekuk dan tulang punggung saya memberontak meminta berbaring. Baru saya akan memejamkan mata, beberapa menit kemudian Allah menyadarkan saya bahwa saya belum menunaikan shalat subuh.
Getar handphone membuat saya terjaga lagi. Saya duduk sambil merogoh handphone di saku celana. Sebuah panggilan masuk dengan sebuah nama tak lazim yang saya baca di sana. Kenapa Jidan harus menghubungi saya disaat hati saya dalam kondisi paling kritis? Saya menghela napas untuk kesekian kalinya sebelum akhirnya mengangkat panggilan tersebut.
"Assalamu'alaikum?" suara Jidan terdengar setelah saya menggeser panel di layar.
Menyenangkan hati orang lain meski dengan hati penuh ketidakrelaan adalah hal kecil yang mungkin bisa menarik saya ke surga. Saat itu saya mati-matian berusaha bersikap sewajar mungkin terhadap Jidan. Meski di dalam hati, saya tidak ingin melakukannya. Saya menjawab salam. Berbasa-basi menanyakan kabar, sebelum akhirnya melemparkan pertanyaan.
"Alhamdulillah saya juga baik. Ada apa pagi-pagi telepon?" tanya saya. Tidak jauh, Jidan pasti akan menanyakan tentang Nafisya mengingat semalam Nafisya menghubunginya dan saya mematikan panggilannya tiba-tiba.
"Nafisya baik-baik aja kan? Saya telepon ke nomernya beberapa kali nggak diangkat." Tebakan saya benar, dia menanyakan Nafisya.
"Dia baik kok, Alhamdulillah. Maaf ya udah bikin kamu khawatir semalam. Saya juga mau bilang makasih, waktu itu kamu nganterin dia pulang," jawab saya. Jangankan untuk melangkah menuju kamar, saya sudah tidak punya tenaga untuk cemburu lagi.
"Alhamdulillah. Saya lega dengernya. Saya khawatir aja soalnya Nafisya tiba-tiba telepon saya malam-malam tapi dihubungi balik malah nggak bisa. Oh yang waktu itu, iya sama-sama. Sejak dulu saya udah terbiasa antar-jemput Nafisya kapanpun dia butuh."
"Boleh saya bicara sama Nafisya sebentar?" tanya Jidan. Masih tidak percaya kalau Nafisya baik-baik saja. Saya melirik kecil ke arah ruang tengah, suara dentingan gelas dari sana membuat saya tahu Nafisya ada di dapur.
"Sebentar ...," kata saya. Dengan sisa-sisa tenaga terakhir saya bangkit dan berjalan menuju dapur. Dia tengah memanaskan air, karena air dalam dispenser sudah habis. Saya menaruh handphone saya di atas meja tanpa melirik ke arahnya.
"Teman kecil kamu telepon. Mau denger suara kamu katanya," kata saya pelan sebelum akhirnya meninggalkan handphone itu di dekatnya lalu berjalan menaiki tangga. Mungkin saat itu saya mulai lelah. Saya lelah patah hati. Sesuatu akan berada dititik jenuh dan bosan bila terjadi berulang-ulang.
Pada kenyataanya sesering apapun menolak, yang datang akan tetap datang. Sekuat apapun menggenggam, yang pergi harus tetap pergi. Begitulah takdir Allah bekerja. Semoga gadis itu tahu, cemburu saya sudah mencapai titik jenuh. Saya tidak mau sampai cemburu buta karena jelas Islam melarangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wa'alaikumussalam Pelengkap Iman ✔
Espiritual(Sudah terbit, bagian tidak lengkap.) Jika memang yakin Allah maha membolak balikan hati, lantas mengapa masih mengemis cinta manusia? Hal itu yang membuat Alif enggan membahas perkara jodoh dan pasangan hidup. Semuanya buyar ketika hidupnya mulai d...