Chapter 8

144K 10.8K 1.4K
                                    

"Terkadang kita memang harus belajar hidup tanpa perih, tanpa mempedulikan pandangan orang lain, agar hati ini tidak berlebihan memetabolisme rasa sakit."

_____________

SEBELUM magrib semua jobdesk saya di rumah sakit harusnya sudah selesai, tapi ternyata tiga orang koas meminta waktu untuk diskusi. Ini minggu-minggu terakhir mereka berada di stase bedah. Mereka harus presentasi besok pagi dan mengumpulkan laporan. Alhasil saya tidak bisa menjemput Nafisya dan menyuruhnya datang sendirian.

"Kalian pasti udah paham kalo rekam medis itu milik rumah sakit, tapi isinya tetap milik pasien. Identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan, riwayat pengobatan, jangan cantumkan sedikitpun di laporan atau di slide show," kata saya sambil melingkari bagian-bagian yang harus dihilangkan dari laporan yang mereka buat. Nafisya pernah bilang, terlalu sadis mencoret tugas atau laporan dengan bolpoin merah, akhirnya saya ganti dengan pensil. Biar tidak terlalu sadis.

"Jangan asal copy-paste ke laporan kalo kaliannya nggak paham. Nanti malah menyulitkan diri kalian sendiri kalau tiba-tiba di tanya tapi nggak bisa jawab. Saran saya hapus aja bagian ini, nanti kamu jelasin gak usah masuk ke slide nya."

"Oke Dok, saya revisi sebelum adzan isya. Nanti malem Dokter masih ada di rumah sakit kan?" tanya salah satu koas laki-laki diantara mereka.

"Ada, tapi saya ada janji sama istri saya. Besok pagi aja perlihatkan ke saya. InsyaAllah saya dateng lebih pagi atau minta pendapat Dokter Sandi next shift juga bisa. Diskusi gak harus selalu sama konsulen, kalian bisa diskusi sama dokter spesialis, dokter residen atau coba tanya temen koas di stase lain yang udah pernah ujian sama Pak Ishak sebelumnya," jawab saya.

"Istri?" tanya koas perempuan dengan kemeja biru langit dan rambut ikal yang di gerai sebahu itu. Wajahnya seperti syok sekali ketika mendengar alasan saya.

"Kenapa?" saya balik bertanya.

"S-saya kaget aja Dok, kayaknya saya belum lihat Dokter pake cincin di jari manapun deh," katanya. Mungkin inilah alasan kenapa pernikahan itu harus di umbar, agar orang-orang tidak salah paham. Lagipula mematahkan banyak hati dengan mengakui pernikahan, tujuannya bukan menyakiti, tapi memang ada hati yang harus dijaga.

"Oh, saya memang gak pake cincin. Cuma istri saya aja yang pake. Selain karena emas itu haram bagi kaum laki-laki. Repot juga kalo tiap ada operasi harus lepas pasang. Prosedur masuk OK segala aksesoris dilarang dipakai kan? Lagian di Indonesia gak umum laki-laki pake cincin," jawab saya. Tiba-tiba pintu ruangan terbuka memunculkan sosok yang tengah saya tunggu.

"Assalamu'alaikum, Pa‒" kami menjawab salam. Namun perkataan Nafisya terhenti tak kala mendapati orang lain di ruangan saya. Sekarang bukan hanya saya yang tak berkedip. Semua orang yang ada di tempat itu pun menatap Nafisya dengan terkagum-kagum. Pasalnya dia menggunakan khimar hitam yang membuat wajahnya terlihat kontras sekali, apalagi pipi dan bibirnya.

"Maaf ..." katanya hendak keluar dan menutup pintu sepelan mungkin sebelum saya tahan.

"Saya lagi bimbingan, sebentar lagi selesai," kata saya. Nafisya mengangguk.

"Iya, Mas," jawabnya dengan kikuk. Mendengar panggilan itu membuat mereka sadar siapa yang mereka lihat. Tiba-tiba saja Nafisya merubah panggilannya, padahal tadi Nafisya hendak memanggil saya Pak. Masalahnya telinga saya sensitif sekali mendengar panggilan seperti itu.

"Nunggunya di dalem aja," suruh saya ketika lagi-lagi Nafisya hendak menutup pintu. Anginnya sedang tidak bersahabat di luar dan sepertinya sebentar lagi juga akan turun hujan. Nafisya mengangguk lalu masuk ke dalam, saya memberi isyarat wajah untuk duduk di kursi putar di meja saya. Tak butuh waktu lama, berkat kehadiran Nafisya para koas itu mengerti dan mengakhiri bimbingan tersebut secepatnya.

Wa'alaikumussalam Pelengkap Iman ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang