Chapter 25

85.3K 9.1K 772
                                    

"Hati saya terus membatinkan ladafz 'allahumma shoyyiban naafi'an' sambil menatap keluar balkon, berharap hujan yang turun mendatangkan manfaat bagi penghuni bumi dan seisinya."

_____________

SAAT berada di dalam mobil Raiyan memilih duduk di depan, tepat disamping kursi kemudi. Sementara Hana duduk di kursi belakang sendirian. Setengah perjalanan, hening menghantui mereka. Tidak ada yang bersuara sedikit pun sampai-sampai Raiyan tertidur.

"Gimana kabar suami lo itu? Katanya mau membatalkan gugatan cerainya pas tahu lo sakit?" Albi bersuara. Dari kaca spion depan, Albi bisa melihat masih ada tatapan tidak suka dari perempuan itu, karena Albi bisa dengan santainya berbicara pada Hana seperti teman sejawat.

"Entahlah ..." jawab Hana singkat.

"Kayaknya profesi pengacara itu seru ya? Bebas gugat menggugat orang lain," kata Albi. Hana tidak menjawab meski dia merasa penasaran, darimana pria yang sedang mengemudi itu tahu tentang pekerjaannya. Hana lebih memilih memalingkan wajah ke arah jendela, menghindari pandangan pria yang masih menatapnya dari kaca depan itu.

"Selama hidup Alif cuma punya ayah tanpa pernah ketemu sama ibunya. Nafisya juga, orang tuanya berpisah bahkan kata Alif ketika umur Nafisya masih lima tahun. Tapi mereka berhasil tumbuh menjadi orang-orang hebat, orang yang kenal baik dengan agama."

"Jadi jangan terlalu khawatir sama masa depan Raiyan. Nggak semua anak yang broken home itu punya hidup yang menyedihkan," kata Albi.

"Mudah mengatakannya, karena kamu nggak tahu seberapa banyak kesedihan yang mereka lalui selama hidupnya, kan?" jawab Hana sedikit ketus. Perempuan itu kira dengan mengatakannya Albi akan bungkam, tapi pria itu malah mengumbar senyum.

"Gue besar di panti asuhan. Tanpa tahu siapa orang tua gue, tanpa tahu apa gue anak haram atau bukan. Basic keluarga angkat gue medis semua. Gue dipaksa ngambil kedokteran padahal gue nggak pernah pengen jadi dokter, akhirnya mimpi gue harus gue kubur dalem-dalem," kata Albi sambil memindahkan persneling.

"Tapi gue suka mikir lagi, berapa banyak orang di luaran sana yang pengen jadi gue, yang pengen jadi dokter," lanjut Albi membuat Hana menahan napas, sedikit merasa bersalah dengan perkataan sebelumnya. Tidak ada percakapan antara mereka setelah itu, mobil terus melaju menerjang hujan sampai akhirnya mereka berada di depan rumah Alif.

____________

Pagi-pagi di luar sudah gerimis, langit gelap sekali. Belum sempat terbit, fajar sudah tertutup gumpalan awan-awan hitam. Hati saya terus membatinkan ladafz allahumma shoyyiban naafi'an sambil menatap keluar balkon, berharap hujan yang turun mendatangkan manfaat bagi penghuni bumi dan seisinya.

Mendengar mobil di depan menekan klakson beberapa kali membuat saya kembali melihat keluar balkon. Ketika melihat mobil yang datang adalah mobilnya Albi, saya tersadar bahwa saya melupakan hal penting. Saya benar-benar lupa masalah Hana yang akan menitipkan Raiyan untuk beberapa hari kedepan. Bahkan saya tidak ingat sama sekali kalau hari ini Hana sudah diperbolehkan pulang.

Saya belum menceritakan apapun terkait Raiyan pada Nafisya. Konyolnya kami baru saja baikan. Bagaimana kalau hal ini membuat kami bertengkar lagi? Saya sangat bersyukur Nafisya sangat membenci perceraian, tapi akan sulit untuk membuatnya paham dengan kondisi perceraiannya Hana.

Bukannya turun dari mobil untuk menggeser gerbang, pria itu malah menyalakan klakson berulang-ulang "Biar saya yang buka gerbangnya ..." kata saya ketika melihat Nafisya hendak keluar. Gadis itu mengulurkan payung di tangannya agar saya tidak kehujanan. Albi berhenti menekan klakson ketika mendapati saya keluar dari rumah. Akhirnya mobil itu bisa terparkir di halaman, karena mobil saya masih berada di garasi.

Wa'alaikumussalam Pelengkap Iman ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang