Hizam seharian ini jadi lebih diam. Padahal pada hari biasa, ada saja celoteh-celotehnya yang agak-agak. Sejak dia melihat gue berjalan dengan Natalia di selasar tadi, sepertinya dia marah. Hizam Librananda yang gue kenal belum pernah marah. Dia sering bilang, marah adalah hal yang merugikan. Bokapnya suka marah-marah, makanya sakit jantung.
Hizam Librananda, kapten tim basket SMA gue juga bukan tipe pemain yang mudah terjatuh karena tersenggol lawan. Apalagi lawannya 'hanya' seorang Felix yang nggak jago basket. Urusan mengerek bendera, bolehlah tanya Felix. Tapi kalau basket, Hizam jelas dua puluh tingkat lebih jago.
"Pin, kok lo bisa kesenggol Felix sampai jatuh?" tanya gue sambil mengerjakan soal Fisika. Gue terpaksa belajar lebih rajin. Nggak bisa kayak awal semester yang cuma main gitar, nonton anime, renang, atau nongkrong bareng anak-anak. Demi nyokap.
Bukannya menjawab, Hizam malah ngupil. Terus upilnya dipeper ke bawah meja. Gue yakin dia dengar. Jarak kami cuma sejengkal.
"Bukan karena lo lihat gue jalan di selasar sama gebetan lo kan, Pin?" Gue 'tembak' saja. Kalau ada masalah antar teman atau keluarga, sebaiknya diselesaikan langsung supaya nggak keterusan. Ini prinsip. Apalagi Hizam sobat terbaik gue.
Suara Kak Mira mahasiswa jurusan Fisika yang sedang PKL di sekolah gue, sayup-sayup terdengar. Dia menyuruh Wulan maju ke depan untuk mengerjakan soal. Sejenak perhatian kami teralih ke arah mereka.
Hizam menulis lagi di bukunya. Tapi dia tersenyum.
"Lo jangan senyum-senyum sendiri, Pin. Takut gue." Seram juga kan kalau teman semeja lo ternyata psikopat.
"Lo apain Nat sampai dia bisa ramah sama lo?" Mulutnya yang gue harapkan terbuka dari tadi, akhirnya bersuara juga.
Pertanyaan yang sudah gue duga sebelumnya. "Nggak gue apa-apain. Kalau sampai gue apa-apain, biar Mimi Peri nyium gue." Untung nggak ada kilat menyambar tanda langit mendengar doa barusan.
Hizam tersenyum lagi. Nggak jelas banget sobat gue. Biar pun dia nggak marah-marah lebay, tetap saja ada perasaan mengganjal. Ribut karena berebut cewek itu nggak banget. Apalagi ceweknya macam Natalia yang nggak jelas asli kaum Hawa atau jadi-jadian.
Tapi percuma gue meyakinkan Hizam. Biarlah dia menenangkan pikiran. Nanti kalau waktunya tepat, baru gue ajak ngobrol lagi.
Lagu Indonesia Raya tanda sekolah usai pun berkumandang. Setelah berkemas dan mengucapkan salam perpisahan, Kak Mira keluar kelas. Satu per satu siswa 12 IPA 3 keluar. Begitu pun gue dan Hizam.
Hari ini gue mau ke kampus Kak Aurel. Nggak tahu kenapa gue ingin ketemu dia. Ada rasa mendesak yang sulit dijabarkan dengan kata-kata. Sehari nggak ketemu seperti ada yang hilang.
"Pin, latihan kita kan?" Ferdi, anak 12 IPS 1 menyenggol lengan Hizam. Mereka mau tanding untuk kompetisi basket antar SMA se-Indonesia. Sponsornya sejibun. Mungkin ini kompetisi terakhir yang Hizam ikuti di SMA. Kelas 12 itu mesti banyak berkorban. Hobi, main-main, pergaulan, pacaran, semuanya dikorbankan.
"Iya dong. Jangan telat." Hizam tersenyum lebar.
"Ya udah, gue ke kantin dulu cari cemilan," sahut Ferdi sambil ngeloyor. Gue iri sama kelasnya Ferdi. Wali kelasnya Pak Phillip, guru Sosiologi. Kalau habis ulangan Sosiologi, yang nilainya paling tinggi ditraktir stiker LINE sebanyak 150 koin.
Orang IPS kan sosial ya? Kayak Kemensos, bagi-bagi. Asal jangan dapet wali kelas Bu Martina aja. Akuntansi. Semua neraca mesti balance. Jadi perhitungannya ketat.
"Ya udah, gue balik. Lo latihan yang bener." Gue siap-siap keluar gerbang dalam menuju parkiran. Nggak gue duga tangan Hizam terulur, berniat menyalami.
KAMU SEDANG MEMBACA
DOCTOR WANNABE #ODOC TheWWG
Teen FictionJadi dokter itu emang susah. Lebih susah kalau lo nggak ikhlas. Tapi kalo dapet guru les yang bisa bikin semangat, gue juga bingung mesti belajar atau liatin muka doi. Cover keren by @Ram_Adhan